-->

Selamat Datang Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Terimakasih atas Kunjungan anda

Selamat Datang Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Terimakasih atas Kunjungan anda

Rabu, 19 Oktober 2011

Senin, 08 Juni 2009


Oleh: Abu Fudhail, Nur Ihsan M.Idris, Lc

1. Definisi Hadits Maudhu’

Secara etimologi : maudhu berasal dari kata وضع yang mempunyai beberapa makna diantaranya

1. الحط ( merendahkan )
2. الإسقاط ( menjatuhkan )
3. الإختلا ق ( mengada-ngadakan )
4. الالصاق ( menyandarkan / menempelkan )

Makna bahasa ini terdapat pula dalam hadits maudhu karena

1 Rendah dalam kedudukannya.

2 Jatuh ( tidak bisa diambil dasar hukum ).

3 Diada-adakan oleh perawinya.

4 Disandarkan pada Muhammad shallallohu alaihi wa sallam sedang beliau tidak mengatakannya.

Sedang dalam istilah ilmu hadits: hadits maudhu adalah hadits yang diada-adakan dan dipalsukan atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam secara sengaja atau kesalahan sebagian ulama mengkhususkan hadits maudhu. pada dusta yang disengaja saja.

Hadits maudhu adalah hadits yang paling rendah kedudukannya.

2. Hukum Berdusta Atas Nama Nabi

Ulama sepakat bahwa sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam adalah salah satu dosa besar yang diancam pelakunya dengan neraka karena adanya akibat buruk, bersabda Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Barangsiapa berdusta atas saya dengan sengaja maka tempatnya di neraka

( Riwayat Bukhari- Muslim)

Hadits ini diriwayatkan oleh 98 shahabat termasuk 10 orang yang dikabarkan masuk surga.

3. Hukum Meriwayatkan hadits maudhu

Al-Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

Barangsiapa yang menceritakan dari saya satu perkataan yang disangka dusta maka dia adalah salah satu pendusta.

Jika ancaman ini bagi yang menduga dusta bagaimana kalau ia yakin bahwasanya ia dusta.

Maka ulama tidak membolehkan hadits dhaif termasuk palsu kecuali kalau disertai oleh pemberitaan bahwa ia dhaif agar dijauhi hadits tersebut dan waspada terhadap rawi yang dhaif atau pemalsu tersebut

4. Pembagian hadits Maudhu

Hadits mudhu ada 3 macam:

1. Perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah r

2. Perkataan itu dari ahli hikmah atau orang zuhud atau israiliyyat dan pemalsu yang menjadikannya hadits.

3. Perkataan yang tidak diinginkan rawi pemalsuannya , Cuma dia keliru.

Jenis ketiga ini masuk hadits maudhu apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya

5.Sejarah Munculnya Pemalsuan Hadits

Ada beberapa waktu yang disebutkan peneliti dalam masalah ini:

a. Ahmad Amin dalam bukunya Fajrul Islam bahwa pemalsuan hadits terjadi pada zaman Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam , pendapatnya ini hanya dibangun atas persangkaan saja dan tidak berdasar sama sekali

b. Munculnya pemalsuan hadits bermula dari terjadinya fitnah pembunuhan Utsman, fitnah Ali dan Muawiyah radhiyallohu anhum jami’andan munculnya firqah setelah itu. Berkisar tahun 35 H – 60 H inilah kesimpulan dari perkataan para peneliti hadits di zaman ini diantara nya Dr Mustafa Siba’i, Dr Umar Fallatah ( salah seorang pengajar di Masjid Nabawi), Dr Abdul Shomad ( Dosen Al-Hadits di Universitas Islam Madinah)

6. Sebab-Sebab Munculnya Pemalsuan Hadits

a. Polemik politik

Dari sebab pembunuhan Utsman radhiyallohu anhu kemudian fitnah Ali radhiyallohu anhu dan Mu’awiyah radhiyallohu anhu terpecahlah kaum muslimin mennjadi tiga , kubu Ali radhiyallohu anhu, Kubu Mu’awiyah radhiyallohu anhu, dan yang keluar yang memberontak pada Ali radhiyallohu anhu.

Pada zaman mereka tidak terjadi pemalsuan hadits, setelah itulah muncul orang-orang yang ta’asub (fanatik) pada golongan tertentu, dan yang pertama kali mempeloporinya adalah Syiah, mereka membuat hadits palsu tentang keutamaan Ali radhiyallohu anhu, kemudian kubu Mu’awiyah radhiyallohu anhu berbuat demikian pula, memalsukan hadits mengenai Abu Bakar, Umar,Utsman, dan Mu’awiyah radhiyallohu anhum jami’an.

Ada 2 metode yang dipakai Syiah dalam memalsukan hadits

A. Memalsukan hadits yang mendukung pendapat mereka seperti keutamaan Ali radhiyallohu anhu, wasiat imamah (pengganti Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan mut’ah

Contoh Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Al-Majruhin meriwayatkan dengan sanadnya Kholid bin Ubaid Al Ataki dari Anas radhiyallohu anhu dari Salman radhiyallohu anhu dari Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata kepada Ali radhiyallohu anhu

هذا وصيي وموضع سري وخير من أترك بعدي

Inilah wasiatku tempat rahasiaku dan orang yang terbaik yang aku tinggalkan setelahku.

Ibnu Hibban berkata tentang Kholid bin Ubaid dia meriwatkan dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu nuskhoh ( kumpulan hadits yang palsu) orang yang tidak mengenal hadits pun tahu kalau dia palsu (Majruhin 1: 279)

B Memalsukan hadits tentang keburukan musuhnya

contoh:

Imam Ibnu Adi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubbad bin Ya’kub Al-Hakam bin Sohir dari ‘Asim dari Dzar dari Abdullah radhiyallohu anhu dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berkata

إذا رأيتم معاوية على منبري فاقتلوه

Apabila kamu melihat Mua’wiyah di atas mimbarku maka bunuhlah ia.

Dalam sanad hadits ini ada dua orang rawi pendusta Ubbad bin Ya’kub dan Al-Hakam bin Sohir.

b. Zindik (munafik)

Karena penaklukan dari tentara kaum muslimin maka masuklah beberapa orang yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keIslaman

7. Sebab Tersebarnya Hadits Palsu

a . Fanatisme kepada:

1. Pada khalifah dan pemimpin
2. Negeri
3. Bahasa
4. Mazhab

b. Tukang cerita

c Ar-Targiib wa Tarhib ( Anjuran berbuat baik dan larangan berbuat mungkar ) dari orang sholeh yang bodoh.

Contoh : Ibnu Mahdi bertanya kepada Maisaroh bin Abdi Rabbih pemalsu hadits tentang fadhilah Al-Qur’an, dia berkata saya memalsukannya untuk mengajak manusia membaca Al-Qur’an

d Tujuan dunia dan harta; seperti untuk melariskan dagangannya sehingga membuta hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan barang yang dijualnya

8. Metode Pemalsu dalam Memalsukan Hadits

1. Membuat hadits yang tidak punya asal
2. Memasukkan beberapa lafaz pada hadits shohih
3. Pencurian hadits

9. Metode Pemalsu Hadits dalam Menyebarkannya

a Memasukannya kedalam buku atau kumpulan hadits

b.membuat buku dalam hadits/kumpulan hadits

c.Berkeliling daerah menyebarkannya

10. Peran Ulama dalam Memberantas Pemalsuan Hadits

1. Memastikan keshahihan riwayat dengan beberapa cara

1.Bertanya dan memeriksa isnad ( para perawi hadits )

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Muhammad ibnu Sirin seorang tabi’in (wafat 110 H) dia berkata Ahli hadits pada awal tidak bertanya tentang isnad maka takkala pada fitnah, mereka berkata

سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ

Sebutkan orang-orangmu (yang kamu ambil hadits darinya) kalau ia dari Ahlus-Sunnah dia ambillah dan kalau ia ahli bid’ah ditinggalkannya

2.Bepergian mencari hadits

Imam Abu ‘Aliyah berkata kami telah mendengar dari shahabat Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam di Basrah tetapi kami tidak puas sampai mendengar langsung dari mulut sahabat di Madinah maka kami safar ke sana ( Al-Khatib, Al Jami’ 2:224)

3. Penelitian dan penyeleksian dalam riwayat hadits, apakah hadits ini dikenal maka diambil dan jika tidak maka tidak diambil.

b. Menentukan daerah penyebaran hadits dhaif dan meninggalkan meriwayatkan hadits dari mereka ini , secara asal terutama ahli iraq (kuffah dan basrah) , namun dari ahli Iraq banyak pula ahli hadits diantaranya Qatadah, Yahya bin Abi katsir dan Abu Ishak.

c. Mengumpulkan hadits palsu dan membongkar kepribadian pemalsu hadits

1. Hammad bin Zaid berkata: zindik munafik memalsukan kurang lebih 12.000 hadits.
2. Berkata Ibnu Mahdi saya memanggil Isa bin Maimun pemalsu hadits karena riwayatnya dari Al-Qosim maka ia mengatakan saya tidak akan mengulang

11. Hasil Peran Ulama dalam Memberantas Pemalsuan Hadits

1. Ilmu ruwah/ biografi setiap rawi
2. Ilmu jarh wa ‘tadil
3. Pemisahan hadits shohih dan selainnya.
4. Khusus hadits-hadits palsu disusunlah

a.Kumpulan rawi pemalsu hadits

b.Kumpulam hadits-hadits palsu dan kadangkala digabung dengan hadits dhaif lainnya

Diantara buku tersebut

1. Al Maudhu’at oleh Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H)
2. Al La’ali al Mashnu’ah fil Ahadits al Maudua’ah oleh Imam as-Suyuti (wafat 911 H)
3. Silsilah Al-Ahadits Al-Dhoifah wal Maudhu’ah oleh Syekh Muhammad Nasiruddin Al Albany Rahimahumullah (wafat pada tahun 1420 H)

12. Kaidah Umum untuk Mengetahui Hadits Palsu.

a.Tanda pemalsuan pada isnad hadits

1. Pengakuan sang pemalsu.

2. Adanya dalil yang menujukkan pengakuan yang menunjukkan sang pemalsu contoh seperti ditanya tentang waktu dan tempat bertemu syekh tapi mustahil keduanya bertemu.

Imam Al-Khotib meriwayatkan dengan sanadnya dari Ismail bin ‘Ayyash berkata saya pernah berada di Iraq kemudian saya didatangi ahli hadits di kota itu dan berkata ada orang yang mengatakan bertemu dengan Kholid bin Ma’dan maka saya mendatangi dan bertanya kapan anda mendengar dari Khalid katanya tahun 113 H saya berkata engkau mengaku mendengar dari Khalid setelah 7 tahun kematiannya. Kholid wafat tahun 106 H( al Khotib, al-Jami’ 1.123).

3.Diketahui dari keadaan sang perowi

Seperti meriwayatkan tentang bid’ahnya

b.Tanda pemalsuan pada matan

1. Bertentangan dengan akal sehat yang tidak mengandung penafsiran yang lain atau kenyataan yang ada

1. Bertentangan dengan nash al-qur’an sunnah dan ijma yang jelas

Ibnu Jauzi dalam al-Maudu’at yang menyebutkan hadits

لَا يَدْخُلُ الْجَنةَ وَلَدُ الزنَا وَلَا وَالِده وَلَا وَلَدُ وَلَدِهِ

Tidak masuk surga anak zina, bapaknya dan cucunya

Apakah dosanya sebagai anak sehingga menghalangi ia masuk surga bukankah Allah I berfirman

وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

“Tidaklah seorang berbuat dosa kecuali keburukannya kembali kepada dirinyasendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (Al-An’am 164 )

1. Keganjilan lafaz dan bahasanya seperti hadits

من أكل من الطين واغتسل به فقد أكل لحم أبيه آدم واغتسل بدمه

Barangsiapa makan tanah dan mandi dengannya maka ia telah memakan daging bapaknya Adam dan mandi dengan darahnya” ( Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam al Kamil 5:1837 ini hadits yang batil)

13 . Pengaruh dan Dampak Buruk Tersebarnya Hadits Palsu

Hadits-hadits palsu yang banyak beredar di tengah masyarakat kita memberi dampak dan sangat buruk pada masyarakat Islam diantaranya:

1 Munculnya keyakinan-keyakinan yang sesat

2 Munculnya ibadah-ibadah yang bid’ah

3 Matinya sunnah.


I. TAQDIM[1]

Termasuk musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin sejak beberapa abad terdahulu adalah merebaknya hadits-hadits dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) di antara mereka. Dimana musibah ini umum melanda seluruh kaum muslimin, termasuk jajaran para ulama mereka, kecuali yang diselamatkan oleh Allah Ta’ala dari para imam dan kritikus hadits.

Tersebarnya hadits-hadits dho’if dan palsu ini banyak mengakibatkan kerusakan yang fatal pada seluruh sisi kehidupan beragama umat ini. Diantaranya ada yang berkaitan dengan aqidah, syariat, mu’amalah dan sebagainya, sebagaimana yang akan kami paparkan Insya Allah.

Namun satu karunia Allah Ta’ala yang sangat patut disyukuri, bahwasanya Allah Ta’ala tidak membiarkan hadits-hadits buatan ini beredar begitu saja di tengah-tengah kaum muslimin. Melalui rahmat dan kasih sayang-Nya, Ia mendatangkan dan menghidupkan para imam hadits; pengawal ilmu agama, pembawa bendera al-Sunnah, yang kemudian bangkit menerangkan hakikat dan membongkar kedustaan seluruh hadits-hadits dhaif dan palsu tersebut kepada manusia. Dan hal ini merupakan bentuk penjagaan serta pemeliharaan dari Allah Ta’ala terhadap wahyu-Nya:

﴿ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ﴾ [ الحجر : 9 ]

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya ” (QS. 15:9)

Lafazh al-Dzikr pada ayat ini mencakup makna al-Qur’an dan al-Sunnah. Karenanya, ketika Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah ditanya tentang tersebarnya hadits-hadits palsu tersebut? Beliau menjawab: Para Ulama atau Kritikus hadits hidup (untuk menerangkan kebathilannya), kemudian beliau membaca ayat di atas[2].

Dari sini kita bisa memahami, bahwa beliau Rahimahullah memasukkan al-Sunnah kepada lafazh al-Dzikr. Dan tafsiran yang serupa juga telah disebutkan oleh Ulama lain, diantaranya: Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Hazm, Ibnul Qoyyim, dan Muhammad bin Ibrahim al-Wazir rahimahumullah [3].

Maka tampillah para imam kaum muslimin untuk menjelaskan keadaan dari kebanyakan hadits-hadits itu, baik yang shohih, lemah, ataupun yang palsu. Mereka kemudian menetapkan ushul dan kaidah-kaidah brilian, yang dengannya seorang dapat mengetahui derajat atau kedudukan suatu hadits. Dan kaidah-kaidah itulah yang kemudian dikenal dengan Ilmu Mustholah al-Hadits.

Akan tetapi, sangat disayangkan, kendati para ulama telah memudahkan jalan bagi umat agar mengenali derajat setiap hadits yang banyak berserakan dalam kitab-kitab, kenyataannya masih banyak kaum muslimin termasuk para da’i atau muballigh berpaling dari mengkaji kitab-kitab para Ulama tersebut. Akhirnya, mereka sangat jahil dan tidak mengetahui keadaan atau derajat hadits-hadits yang mereka dengarkan atau mereka baca. Karenanya, kerap kali kita menyaksikan dan mendengarkan nasihat dari sebagian da’i, khatib dan selainnya yang mengandung hadits-hadits dho’if, bahkan maudhu’. Padahal, ini sangat berbahaya lantaran Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

] مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ [ (متفق عليه)

"Barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka". (Muttafaqun Alaihi).[4]

Dalam keterangan lain, seseorang juga dilarang menyampaikan setiap hadits yang ia dengar tanpa memilah terlebih dahulu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

] كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ [ ( رواه الإمام مسلم في المقدمة )

"Cukuplah seorang itu dikatakan pendusta, jika menyampaikan setiap apa yang dia dengar" [5]

Berkata Imam Ibnu Hibban Rahimahullah dalam muqaddimah Kitab Shohihnya[6]: “Pasal: Keterangan tentang wajibnya masuk neraka seorang yang menisbatkan sesuatu (perkataan atau perbuatan) kepada al-Musthofa (Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam) padahal orang itu tidak mengetahui keshohihan hadits tersebut”, kemudian beliau (Ibnu Hibban) mengutip dua hadits yang membuktian kebenaran perkataannya itu:

1- عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ t عَنْ رَسُولِ اللَّهِ r قَالَ: ] مَنْ قَالَ عَلَىَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ[

Pertama: Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang berkata atas (nama)-ku, apa yang sebenarnya tidak aku katakan, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka".[7]

2- عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ t قال : قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ] مَنْ حَدَّثَ عَنِّي ِحَدِيثاً وهو يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ [

Kedua: Dari Samurah bin Jundub radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan suatu hadits dariku yang dia menduga bahwa itu dusta (palsu), maka dia termasuk satu dari dua pendusta".[8]

Dari keterangan-keterangan di atas, maka jelaslah bahwa tidak boleh bagi seseorang menyebarkan hadits-hadits tanpa mengecek terlebih dahulu akan keshohihannya. Dan siapa yang berani melakukan demikian, maka dia termasuk orang-orang yang telah berdusta atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, padahal beliau telah bersabda :

] إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ [ ( رواه البخارى ومسلم في المقدّمة )

"Sungguh berdusta atas (nama)-ku tidak sama dengan berdusta atas seseorang (selain aku), barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka". [9]

Karena itulah, para sahabat sangat takut dan berhati-hati sekali dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, diantaranya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قُلْتُ لِلزُّبَيْرِ إِنِّي لَا أَسْمَعُكَ تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا يُحَدِّثُ فُلَانٌ وَفُلَانٌ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أُفَارِقْهُ وَلَكِنْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ : ] مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ [

Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata : Aku berkata kepada Zubair(bapaknya), Aku tidak mendengarkan engkau menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana yang (banyak) disampaikan oleh si fulan dan si fulan’. Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku ini tidak pernah berpisah dengan beliau akan tetapi aku telah mendengar beliau bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka” [10]

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ قُلْنَا لِزَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ حَدِّثْنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « كَبِرْنَا وَنَسِينَا وَالْحَدِيثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَدِيدٌ »

“Dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata: Kami berkata kepada Zaid bin Arqam: Sampaikan pada kami (hadits-hadits) dari Rosulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau menjawab: Kami sudah tua dan banyak lupa, sedangkan menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam adalah suatu urusan yang sangat berat”.[11]

Dari sinilah, nampak bagi kita urgensi mengetahui masalah yang akan kita paparkan ini. Sebab sebagian besar para juru muballigh, ustadz, ataupun khatib yang membawakan hadits-hadits dho’if berdalih, bahwa ini bagian dari “Fadhoil al-A’mal” (keutamaan-keutamaan amal) yang dibolehkan. Olehnya, semoga tulisan ini memberi pencerahan bagi kita, apakah dalih dan hujjah mereka itu bisa diterima atau tidak. Wallahu Al Muwaffiq ilaa Sawaai As Sabiil.

II. HUKUM MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADITS DHO’IF

Para Ulama Rahimahumullah berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if. Perbedaan ini terbagi dalam atas tiga pendapat[12]:

Pertama: Hadits dho’if itu tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah hukum, aqidah, targhib wa tarhib dan selainnya. Pendapat ini dipegang oleh sebagian besar ulama hadits, diantaranya: al-Hafizh Yahya bin Ma’in, al-Hafizh Abu Bakar Ibnu al-’Arabi al-Maliki, Imam Ibnu Hazm, Imam al-Bukhori, Imam Muslim, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, rahimahumullahu.

Kedua: Boleh mengamalkan hadits dho’if dalam bab Fadhoil al-A’mal, dan targhib wa tarhib, namun tidak diamalkan dalam masalah aqidah dan hukum. Pendapat ini dicetuskan oleh sebagian ahli Fiqih dan ahli Hadits, seperti al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Ibnu Sholah, dan al-Imam Nawawi rahimahumullah.

Ketiga : Boleh mengamalkan hadits dho’if secara mutlak, baik dalam masalah fiqh, aqidah dan selainnya, jika dalam masalah itu tidak didapatkan hadits-hadits shohih ataupun hasan. Pendapat atau mazhab ketiga ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan muridnya Abu Dawud Rahimahumallahu.

III. SYARAT-SYARAT MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADITS DHO’IF

Perlu diketahui, para Ulama yang membolehkan periwayatan dan pengamalan hadits dho’if, menetapkan beberapa syarat yang mesti diperhatikan:

1. Hadits tersebut tidak lemah sekali -bukan hadits yang derajatnya dho’if jiddan apalagi maudhu’-.

2. Hadits dho’if tersebut masuk dan ditunjuki oleh suatu dasar umum dan dipegangi yang berasal dari hadits shohih. Dimana hadits dho’if itu tidak boleh dijadikan asal dan dasar dalam menetapkan suatu hukum.

3. Tidak boleh meyakini bahwa ia adalah sabda Nabi atau perbuatan beliau. Hadits itu diamalkan hanya karena kehati-hatian ketimbang mengamalkan sesuatu yang tidak ada dasarnya sama sekali.

4. Hadits tersebut khusus untuk Fadhoil al-A’mal atau Targhib wa Tarhib. Bukan dalam masalah aqidah, hukum -urusan halal haram dan lainnya-, tafsir al-Qur’an dan sebagainya yang sifatnya prinsip dalam al-Dien ini.

5. Orang yang mengamalkan tidak boleh memasyhurkan hadits tersebut, karena masyarakat awam jika melihat hadits itu mereka pasti menyangka bahwa ia merupakan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

6. Dalam periwayatannya tidak boleh menggunakan shigah (bentuk) al-jazm, seperti قَالَ (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda). namun hendaknya menggunakan shigah al-tamridh (bentuk-bentuk yang menunjukkan bahwa hadits itu ada cacatnya), seperti:”قِيلَ (dikatakan),رُوِيَ (diriwayatkan) dan lafazh-lafazh lain yang dikenal di kalangan ahli hadits.

IV. PENJELASAN DARI PARA ULAMA YANG TIDAK MEMBOLEHKAN PERIWAYATAN DAN PENGAMALAN HADITS DHO’IF SECARA MUTLAK

Para ulama hadits yang berpegang pada pendapat pertama -tidak boleh meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if secara mutlak-, telah mengemukakan dalil-dalil atas pernyataan ini, diantaranya:

Pertama: Dalil-dalil umum yang melarang menyampaikan hadits, kecuali yang shohih dan benar datangnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam -lihat sebagian dari dalil-dalil mereka pada bagian pertama tulisan ini-. Mereka mengatakan, bahwa menisbatkan atau menyandarkan hadits dho’if kepada Rosulullah shallallahu alaihi wasallam, tidak benar sama sekali.

Kedua: Mereka mengatakan, bahwa kabar yang bersumber dari hadits dho’if itu hanya memberikan faedah berupa zhon (prasangka) yang lemah, yaitu masih diragukan apakah benar sabda Nabi atau bukan. Olehnya, atas dasar apa kita mengatakan bahwa hadits dho’if bisa diamalkan?, padahal Allah mencela zhon itu dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti firman Allah dalam surah An-Najm :28 (artinya):

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.

Demikian pula Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

] إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ [

"Jauhilah zhon (prasangka), karena prasangka itu sedusta-dusta perkataan atau ucapan". (Muttafaqun Alaihi).

Adapun syarat-syarat yang dikemukakan oleh penganut pendapat kedua, telah mereka jawab dan tanggapi sebagai berikut:

1. Syarat pertama yang mereka kemukakan ini disepakati oleh seluruh ahli ilmu. Namun ia sangat sulit dipenuhi, karena itu sama artinya bahwa setiap orang yang mau membawakan hadits dho'if harus benar-benar mengetahui keadaan hadits dho'if itu apakah termasuk dho'if ringan atau berat (dho'if jiddan). Dan membedakan dan mengetahui hal ini sangat amat sulit bagi kebanyakan orang disebabkan kurangnya ulama hadits, terlebih masa saat kita sekarang ini dimana keberadaan seseorang yang tidak menyebutkan hadits kecuali yang shohih dan menjelaskan kepada masyarakat tentang bahaya hadits dho'if sangat langka .

2. Maksud para ulama dari syarat kedua adalah, bahwa amal atau pekerjaan tersebut sudah disepakati sebagai suatu perbuatan yang baik atau buruk berdasarkan 'ijma dan nash-nash dari al-Qur'an dan Sunnah Shohihah seperti tilawah al-Qur'an, do'a, bersedekah, berbuat baik kepada manusia, bohong, hasad, dan lain-lain. Kemudian datang hadits dho'if yang menyebutkan keutamaan beberapa amal dan pahalanya atau buruknya beberapa amal dan siksanya serta kadar-kadar dari pahala atau siksa bagi siapa yang mengerjakannya. Jadi seseorang yang mengerjakan perbuatan baik itu atau meninggalkan perbuatan yang buruk berdasarkan apa yang disebutkan dalam keterangan yang shohih namun mengharapkan pahala atau takut akan siksa sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dho'if.

Sayangnya, syarat yang kedua inipun kurang diperhatikan dan banyak dilanggar oleh para pengamal hadits dho'if. Kenyataannya, banyak kita temukan mereka mengamalkan sesuatu yang tidak mempunyai dasar atau keterangan sama sekali dari hadits-hadits shohih. Seperti orang-orang yang mengkhususkan beberapa waktu untuk membaca surah Yaasin. Jadi pada hakikatnya syarat kedua ini menyuruh kita untuk mengamalkan sesuatu yang sudah ada dasarnya dari hadits-hadits shohih. Pertanyaannya, kalau amalan tersebut sudah disebutkan dalam hadits shohih, untuk apa lagi melirik pada hadits yang lemah?.

3. Syarat yang ketiga sama dengan syarat yang pertama dalam hal harusnya mengetahui kelemahan hadits tersebut. Namun kenyataan yang kita saksikan, bahwa kebanyakan orang-orang saat sekarang ini tidak mengetahui hal tersebut. Hingga ketika mengamalkannya mereka meyakini hadits itu sebagai sabda atau perbuatan Rosulullah. Dengan demikian syarat yang ketiga inipun telah dilanggar.

4. Syarat yang keempat ini mengharuskan bagi orang yang mau membawakannya untuk tahu terlebih dahulu apakah hadits ini termasuk dalam fadhoilul a'mal ataukah masalah aqidah dan hukum. Lalu syarat ini tidak bisa diterima sepenuhnya karena sesungguhnya fadhoilul a'mal itu juga bagian dari syariat sama halnya dengan aqidah, tafsir, atau masalah hukum, maka mana dalil yang menunjukkan bolehnya dibeda-bedakan? Kemudian tidak adanya kaidah yang jelas dalam menentukan sesuatu itu masuk ke bagian fadhoilul a'mal atau bukan, karenanya sering kita dapatkan sebuah hadits yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai fadhoilul amal namun ulama yang lainnya melihat sebagai masalah hukum sehingga mengambil istinbath (ketetapan) hukum dari hadits tersebut. Hal lain kadang suatu hadits terkandung padanya dua hal tersebut sekaligus yaitu masalah hukum dan juga fadhoil a’mal.

5. Syarat kelima ini sangat banyak dilanggar oleh kaum muslimin, dimana saat sekarang ini sangat banyak hadits dho'if yang dikenal dan dipakai sama kedudukannya dengan hadits shohih bahkan lebih. Karenanya sangat banyak ibadah-ibadah yang tidak benar yang mereka kerjakan lalu mereka meninggalkan ibadah-ibadah yang sudah jelas berdasarkan hadits yang shohih, Wallahul Musta'an.

6. Syarat yang terakhir ini sangat sulit untuk diterapkan disebabkan kurangnya orang yang mengerti isyarat dari lafazh-lafazh tersebut terutama di zaman kita sekarang ini yang mana pengetahuan tentang ilmu hadits sangat kurang dikalangan ulama, para khatib, atau muballigh apalagi masyarakat awam. Karenanya sangat tepat apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir Rohimahullah : "Menurut saya, menjelaskan kelemahan suatu hadits merupakan suatu keharusan dalam segala keadaan, karena jika hal itu tidak dijelaskan, seseorang yang membacanya akan menyangka bahwa dia adalah hadits yang shohih apalagi jika yang menukilnya adalah dari kalangan ulama yang orang-orang meruju' kepada perkataannya...."[13].

Dari jawaban-jawaban di atas nampak bagi kita kuatnya pendapat/madzhab pertama, apalagi syarat-syarat yang ditetapkan oleh ulama yang berpegang pada pendapat kedua sangat sulit untuk diterapkan dan telah banyak dilanggar (secara sengaja ataupun tidak) oleh kaum muslimin saat sekarang.

Adapun perkataan Imam Ahmad (pendapat atau madzhab ketiga) bahwasanya beliau Rohimahullah jika tidak mendapatkan hadits shohih dalam satu bab maka beliau berpegang pada hadits yang dho’if ketimbang berpegang pada pendapatnya sendiri atau pendapat imam yang lain. Maksud daripada hadits dho’if di sini adalah hadits hasan menurut istilah kita sekarang. Karena pada masa mereka ilmu mushtholah hadits belum begitu berkembang sehingga pembagian hadits yang mereka kenal ketika itu hanyalah shohih dan dho’if, jadi jika mereka menyebutkan hadits dho’if ketika itu maka boleh jadi yang mereka maksud hadits hasan menurut istilah kita sekarang, karena yang pertama kali banyak menggunakan pembagian hadits menjadi tiga : shohih, hasan, dho’if adalah Imam At-Tirmidzi, yang mana beliau datang sesudah Imam Ahmad. Wallahu Ta’ala A’lam[14].

Itulah hujjah-hujjah dan jawaban serta tanggapan yang telah dikemukakan oleh para ulama yang memandang tidak boleh meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if secara mutlak baik itu untuk fadhoilul a’mal maupun yang lainnya. Sebelum kami akhiri pembahasan ini kami akan kutip beberapa perkataan para ulama hadits tentang hukum meriwayatkan hadits-hadits dhoif:

1. Imam Muslim rahimahulloh menyatakan dalam Muqaddimah Shohih Muslim : ”Ketahuilah mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepadamu bahwa wajib bagi setiap orang untuk membedakan antara riwayat-riwayat yang shohih dengan riwayat-riwayat yang lemah dan membedakan antara rowi-rowi yang tsiqoh (kuat/terpercaya) dengan rawi-rowi yang tertuduh. Hendaknya seseorang tidak meriwayatkan hadits-hadits Rosulullah kecuali yang dia ketahui keshohihan atau kebenaran riwayat-riwayat tersebut dan terjaganya orang-orang yang meriwayatkannya (dari dusta, dan lain-lain). Dan hendaknya seseorang takut serta berhati-hati dari meriwayatkan hadits jika di dalamnya ada rawi hadits yang dituduh (sebagai pendusta atau memiliki kefasiqan yang lainnya) dan pembangkang dari kalangan ahli bid’ah.”[15]

2. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolany Rahimahullah dalam kitabnya Tabyin al-’Ajab Fi Bayan Fadhli Rajab menyebutkan bahwa sebagian ulama membolehkan meriwayatkan hadits yang lemahnya ringan jika dalam Fadhoil al-A’mal dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan. Kemudian beliau Rahimahullah mengemukakan pendapatnya dan berkata: “Hendaknya seseorang takut terkena ancaman Rosulullah dalam sebuah haditsnya: “Barangsiapa yang menyampaikan satu hadits dariku dan dia menyangka bahwa hadits itu dusta (tidak benar dari sabda Nabi)maka dia termasuk satu dari dua pendusta.” Jika meriwayatkan hadits dho’if saja terlarang apalagi mengamalkannya?! Dan tidak ada perbedaan (hukum) dalam hal mengamalkan suatu hadits dalam masalah Ahkam atau Fadhoilul A’mal karena semua itu adalah bagian dari syariat[16].

3. Berkata al-Syaikh al-Muhaddits Ahmad Syakir Rahimahullah :”….Bahwasanya tidak ada perbedaan antara masalah ahkam (hukum-hukum), fadhoil al-a’mal dan yang lainnya tentang tidak bolehnya mengambil hadits-hadits dho’if sebagai pegangan, bahkan seseorang tidak boleh berhujjah kecuali dari kabar yang benar datangnya dari Rosulullah ( berupa hadits shohih atau hasan)”.

V. PENUTUP DAN KESIMPULAN

Dalam bagian akhir dari tulisan ini dapat kita ketahui dan simpulkan bahwa ulama telah berikhtilaf dalam hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if dalam Fadhoil al-A’mal. Namun dari tiga madzhab atau pendapat yang ada, yang paling dekat dan sesuai dengan dalil-dalil adalah pendapat pertama. Adapun ulama yang membolehkan telah membuat dan menetapkan syarat-syarat yang sangat berat dan ketat. Persyaratan tersebut tidak akan dipenuhi kecuali oleh ulama-ulama yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang ilmu hadits, namun karena keberadaan ulama yang demikian itu pada abad ini sangat langka sekali maka pendapat yang kedua ini tidak dapat dipegangi lagi untuk saat sekarang ini.

Dan yang perlu kita ketahui dan camkan bersama bahwa Rosulullah telah meninggalkan hadits-haditsnya yang banyak kepada kita. Dimana tidak seorang pun di muka bumi ini yang mampu menguasai seluruh hadits-hadits Rosulullah yang shohih, karenanya barangsiapa yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah maka sungguh ia telah menjalankan Ad Dien ini secara sempurna sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar radhiallohu anhu :

تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا ، قَالَ : فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meninggalkan kami dan tidak seekor burung pun yang (terbang) membolak-balikkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kami” “Beliaupun Rosulullah ( telah bersabda:”Tidak tinggal sesuatu pun yang mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka melainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu”[17]

Sangat tepat ungkapan yang pernah disampaikan oleh Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullohu :

« فِيْ صَحِيْحِ الحََْدِيْثِ شُغُلٌ عَنْ سَقِيْمِهِ »

Hadits yang shohih sudah menyibukkan dari hadits yang dhoif [18], maksud beliau adalah seandainya kita konsisten dalam mengamalkan hadits-hadits yang shohih maka kita tidak memiliki waktu yang memadai untuk mengamalkan hadits yang lemah,Wallohu A’lam

Terakhir sekali sebagai suatu kesimpulan kami mengutip perkataan dari Muhaddits (ahli hadits) di abad ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani-rahimahullahu-:” Kami menasihati seluruh saudara-saudara kami sesama muslim di bagian timur dan barat bumi ini untuk meninggalkan pengamalan hadits dho’if secara mutlak dan hendaknya mereka memusatkan perhatiannya untuk mengamalkan hadits-hadits yang telah benar datangnya dari Rosulullah karena sesungguhnya hadits-hadits shohih itu sudah cukup bagi kita dan dengan mengamalkannya berarti menyelamatkan diri kita dari jatuh ke perbuatan dusta atas nama Rosulullah. Karena sesungguhnya kami telah mengetahui dengan pengalaman yang ada bahwa orang-orang yang tidak sependapat dengan kami dalam masalah ini telah terjatuh kepada apa yang telah kami sebutkan berupa dusta (atas nama Rosulullah). Karena mereka mengamalkan setiap apa “yang bertiup” dan “melata”[19] dari hadits-hadits . Dan Rosulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengisyaratkan akan hal ini lewat sabda beliau: “Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta jika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengar”, karenanya saya (Syaikh al-Albani) berkata ‘cukuplah seseorang itu berada dalam kesesatan jika dia mengamalkan setiap apa yang dia dengar’ (yakni tanpa menyaringnya terlebih dahulu,-pen).

Inilah akhir dari apa yang bisa kami kumpulkan dan paparkan dalam membahas hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits dho’if dalam fadhoilul a’mal, mudah-mudahan Allah( menjadikannya sebagai ilmu yang nafi’ (bermanfaat) di dunia dan terlebih lagi di akhirat, Amin. Wallohu A’lam Bishshawab.

SUMBER BACAAN :

1. Al Ba’its Al Hatsits Syarh Ikhtishor ‘Ulumul Hadits, Asy Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Daar Al ‘Ashimah, Cetakan Pertama tahun 1415 H

2. Al Hadits Hujjatun Binafsihi Fil ‘Aqoid wal Ahkam, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Tahqiq : Muhammad ‘Ied Al Abbasi, Ad Daar As Salafiyah-Kuwait, Cetakan Petama 1406 H

3. Al Ihsan Bii Tartib Shohih Ibnu Hibban, Al Amir ‘Alauddin Ibnu Balaban Al Farisi, Tahqiq : Kamal Yusuf Al Hut, Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah-Beirut, Cetakan Kedua tahun 1417 H

4. Al Jarh wa at Ta’dil, Al Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Rozi, Tahqiq : Abdurrahman Bin Yahya Al Mu’allum Al Yamani, Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah-Beirut, Cetakan Pertama 1371 H

5. Al Minhaj Syarhu Shohih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Muhyiddin An Nawawi, Tahqiq : Khalil Ma’mun Syiha, Daar Al Ma’rifah-Beirut, Cetakan Pertama tahun 1414 H

6. Al Mu’jam Al Kabir, Al Hafizh Abul Qosim Ath Thobrani, Tahqiq : Hamdi Abdul Majid As Salafi, Daar Ihyaa At Turots Al ‘Arobi, Cetakan Kedua tahun 1405 H

7. Al Qoul Al Badi’ Fish Sholah ‘Alaa Al Habib Asy Syafi’I, Al Imam Syamsuddin As Salehawi, Maktabah Ibnu Taimiyah-Al Qohiroh, tanpa tahun

8. An Nukat ‘Ala Kitab Ibn Ash Sholah, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani, Tahqiq : Dr.Robi’ bin Hadi Al Madkhali, Al Jami’ah Al Islamiyyah-Al Madinah An Nabawiyah, Cetakan pertama tahun 1404 H

9. Fathul Bari Syarhu Shohih Al Bukhori, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani, Tahqiq : Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah-Beirut , Cetakan Pertama tahun 1410 H

10. Kitab Al Adzkar, Al Imam An Nawawi, Tahqiq : Basyir Muhammad ‘Uyun, Maktabah Al Muayyad-Ar Riyadh, Cetakan Kedua tahun 1414 H

11. Majmu’ah Rosaail At Taujihaat Al Islamiyyah, yaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Daar Ash Shomi’iy-Ar Riyadh, Cetakan Keempat tahun 1414 H

12. Mudzakkiroh Mustholah Al Hadits, Asy Syaikh Badr Al ‘Ammasy

13. Qoidah Jalilah Fii At Tawassul Wa Al Wasilah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Taqiq : Dr. Robi’ bin Hadi Al Madkhali, Maktabah Linas-Al Madinah, Cetakan Pertama tahun 1412 H

14. Qothful Azhar Al Mutanatsiroh Fil Akhbar Al Mutawatiroh, Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, Tahqiq : Khalil Muhyiddin Al Mais, Al Maktabah Al Islami-Beirut, Cetakan Pertama tahun 1405 H

15. Shifat Sholat An Nabi Minat Takbir Ilaa At Taslim, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif-Ar Riyadh, Cetakan Pertama (baru) tahun 1411 H

16. Shohih Al Jami’ Ash Shoghir wa Ziyadatihi, Asy syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Al Maktab Al Islami, Cetakan Ketiga tahun 1408 H

17. Shohih At Targhib wa At Tarhib Lil Mundzir, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Maktabah Al Ma’arif-Ar Riyadh, Cetakan Ketiga tahun 1409 H

18. Silsilah Al Ahaadits Adh Dho’ifah wal Maudhu’ah wa Atsaruha As Sayyi’ Fiil Ummah, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif-Ar Riyadh, Cetakan Pertama (baru) tahun 1413 H

19. Sunan Ibni Majah, Al Imam Abu Abdillah Ibnu Majah, Tahqiq : Khalil Ma’mun Syiha

Daar Al Ma’rifah-Beirut, Cetakan Pertama tahun 1416 H

20. Tadrib Ar Rowi Fii Syarhi Taqrib An Nawawi, Al Hafizh Jalaluddin As Suyuthi, Tahqiq : Nazhr Muhammad Al Faryabi, Maktabah Al Kautsar-Ar Riyadh, Cetakan Kedua tahun 1415 H

21. Tamamul Minnah Fii At Ta’liq ‘Alaa Fiqh, Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Daar Ar Royah-Ar Riyadh, Cetakan Ketiga tahun 1409 H

22. Taujihun Nazhr Ilaa Ushulil Atsar, Asy Syaikh Thohir Al Jazaairi Ad Dimasyqi, Tahqiq : Abdul Fattah Abu Buddah, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah-Halb, Cetakan Pertama tahun 1416 H

23. Ulumul Hadits, Abu ‘Amr Utsman bin Ash Sholah, Tahqiq : Nuruddin ‘Itr, Daar Al Fikr Al Mu’ashir-Dimasyq, Tahun 1406 H

24.Ilmu Mustholah Hadits, Al Ustadz Abdul Qodir Hassan, Penerbit CV Diponegoro-Bandung, Cetakan Keempat tahun 1990 M

25. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Prof. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Bulan Bintang, Cetakan Keempat Tahun 1974 M

26. Majalah As Sunnah No. 03 dan 07 tahun pertama, Terutama Pengkajian Hadits yang diasuh oleh Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Footnote:

[1] Baca Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah wal Maudhu’ah 1/46

[2] Lihat Al Jarh wa At Ta’dil 1/3 dan Tadrib Ar Rowi 1/333

[3] Lihat Al Hadits Hujjatun Binafsihi Fil ‘Aqoid wal Ahkam halaman 21-26

[4] Hadits ini mutawatir secara lafazh dan makna, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shohihnya, hadits no 107,110,1291, 3461,6197 dan Imam Muslim dalam Muqaddimah Shohihnya (Al Minhaj 1/27), lihat Qathful Azhaar Al Mutanaatsiroh Fil Akhbaar Al Mutawaatiroh (hal 23, hadits no 1)

[5] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shohihnya, lihat Al Minhaj 1/27

[6] Lihat Al Ihsan 1/117

[7] Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya; Kitab Baqii Musnad Al Muktsirin, Bab Baqii Al Musnad As Saabiq (8067,8558) dan Ibnu Majah dalam Sunannya (No 35) . Sanad hadits ini dinyatakan hasan oleh Al Albani di Muqaddimah Silsilah Al Ahadis Adh Dho’ifah 1/50

[8] Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shohihnya, lihat Al Minhaj 1/22

[9] HR Bukhori (1291) dan Muslim dalam Muqaddimah Shohihnya, lihat Al Minhaj 1/28

[10] Diriwayatkan oleh Bukhari (107)

[11] Atsar ini shohih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah As Sunan, Bab At Tawaqqi Fil Hadits ‘an Rasulillah e (no 25)

[12] Lihat Tadrib Ar Rowi 1/350 dan Taujih An Nazhr 2/653

[13] Al Baits Al Hatsits 1/278

[14] Lihat Qaidah Jalilah hal 163, An Nukat 1/385 dan Al Baits 1/279

[15] Muqaddimah Shohih Muslim, lihat Al Minhaj 1/20-21

[16] Tabyiinul ‘Ajab (hal 4)

[17] Diriwayatkan oleh Imam Thobrani dalam Al Mu’jam Al Kabir 2/155/1647 dengan sanad yang shohih

[18] Diriwayatkan oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Jami’ Li Akhlaq Ar Rowi 2/159

[19] Ini merupakan ungkapan Arab yang bermakna : Seseorang mengutip sesuatu perkataan tanpa menyaring dan menyeleksi terlebih dahulu


I. TAQDIEM

Merupakan nikmat Allah Ta’ala yang terbesar atas umat ini adalah disempurnakannya Ad Dien ini dan terpeliharanya Al Qur’an Al Karim -yang merupakan pedoman hidup kita- dari campur tangan manusia yang mau menodai kesuciannya dan mengubah isinya. Dan hal ini tidaklah terdapat pada agama-agama dan ummat-ummat sebelum kita. Allah Ta’ala berfirman:

﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا﴾

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS.Al Maaidah:3) Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman:

﴿ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al Hijr:9) Pemeliharaan Allah Ta’ala terhadap Ad Dien dan Al Qur’an adalah disebabkan posisi dan kedudukan Dienul Islam yang merupakan dien penutup, yang tidak ada lagi dien yang datang sesudahnya. Sebagaimana Allah Ta’ala menjaga kemurnian Al Qur’an dari segala macam bentuk penyelewengan dan campur tangan manusia, maka Allah Ta’ala juga menjaga As Sunnah yang merupakan salah satu dari sumber syari’at Islam dan merupakan penjelas terhadap Al Quran. Adapun bentuk penjagaan Allah Ta’ala terhadap As Sunnah adalah dengan menghidupkan serta membimbing para ulama hadits untuk tampil berkhidmat kepada As Sunnah. Maka dengan khidmat yang mereka lakukan lewat pemisahan hadits-hadits yang dho’if dan maudhu’ dari hadits-hadits yang shohih sehingga kita dapat beribadah dengan penuh keyakinan dan bashiroh. Saat ini kita berada di masa yang penuh kegoncangan dengan berbagai macam sistem yang ada, yang mana sistem-sistem tersebut tidak mampu melahirkan keselamatan serta jaminan ketenangan untuk penduduk dunia. Kesemuanya itu disebabkan tidak dipraktekkannya sumber-sumber syari’at Islam. Karenanya kita sebagai kaum muslimin hendaknya berkeyakinan teguh bahwa makhroj (solusi) dari seluruh problematika yang kita hadapi adalah ruju’(kembali) kepada ajaran Islam yang murni yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah dijalankan dengan baik oleh para As-Salaf Ash-Sholih – –رحمهم الله

Dan mashodir (sumber-sumber) syari’at Islam tidaklah asing bagi kaum muslimin dan tidak diragukan lagi bahwa As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam disamping Al-Qur’an dan dia mempunyai cabang-cabang yang sangat luas, hal ini disebabkan karena Al-Qur’an kebanyakan hanya mencantumkan kaidah-kaidah yang bersifat umum serta hukum-hukum yang sifatnya global yang mana penjelasannya didapatkan dalam As-Sunnah An-Nabawiyah.

Oleh karena itu As-Sunnah mesti dijadikan landasan dan rujukan serta diberikan inayah (perhatian) yang sepantasnya untuk digali hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dan pembahasan tentang sunnah Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan fikroh islamiyah serta upaya untuk mengenal salah satu mashdar syari’at Islam, apalagi As-Sunnah sejak dulu selalu menjadi sasaran dari serangan-serangan firqoh yang menyimpang dari manhaj yang haq, yang bertujuan untuk memalingkan ummat Islam dari manhaj Nabawi dan menjadikan mereka ragu terhadap As-Sunnah. Sebagaimana yang kita saksikan pada abad ini dimana para orientalis melemparkan berbagai syubhat untuk menimbulkan fitnah bagi kaum muslimin. Dan sungguh sangat disayangkan sekali karena sebagian kaum muslimin termasuk para da’inya tertipu dengan pemikiran-pemikiran kaum orientalis yang dikemas dengan bahasa yang diperindah yang mencoba membuat keragu-raguan terhadap kedudukan dan fungsi As-Sunnah dalam syari’at Islam. Sehingga lahirlah dalam tubuh kaum muslimin sendiri termasuk para da’inya dan dari sebagian person yang dikategorikan sebagai ulama yang mengingkari manzilah (kedudukan) dan fungsi As-Sunnah tersebut secara keseluruhan maupun sebagiannya.

Mudah-mudahan tulisan yang ringkas dan sederhana ini dapat menjelaskan kepada kita tentang manzilah dan fungsi As-Sunnah serta kewajiban berpegang teguh kepadanya sekaligus menjawab syubhat-syubhat yang dilontarkan para pengingkarnya. WAllah Ta’alaul Musta’an

II. TA’RIEF (DEFINISI) AS-SUNNAH

1. Menurut bahasa ( Lughoh ) سَنَّ – يَسنّ – سنّا،سنّة

Ditinjau dari etimologinya (bahasa) As Sunnah berarti : siroh atau thoriqoh (jalan) yang baik maupun yang buruk Allah Ta’ala berfirman:

﴿ يريد اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم ﴾

“Allah Ta’ala hendak menerangkan (hukum syari`at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. An Nisaa:26) Dalam tafsir Al Qurthubi disebutkan bahwa salah satu makna:

﴿ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ ﴾

Adalah:“Dia menjelaskan kepadamu jalan-jalan orang sebelummu dari ahlul hak dan batil” Tafsiran ini menunjukkan bahwa kata sunan yang merupakan bentuk jama’ dari sunnah digunakan pada yang baik maupun yang buruk, Makna menurut bahasa ini juga ditunjukkan dalam sebuah hadits :

] مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ [

“Barangsiapa yang melakukan di dalam Islam sunnah (jalan/contoh) yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala dari orang-orang tersebut sedikit pun. Dan barangsiapa melakukan di dalam Islam jalan/contoh (sunnah) yang tidak baik maka atasnya dosa dan dosa orang-orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dari dosa-dosa mereka sedikit pun ”

2. Menurut istilah Ulama kita berikhtilaf dalam meletakkan definisi As Sunnah sesuai dengan bidang dan disiplin ilmu mereka.

· Menurut Ulama Hadits ( Muhadditsun ) : “ Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam berupa perkataan,perbuatan, persetujuan, sifat jasmani dan akhlaq beliau; baik itu sebelum diutus maupun sesudahnya“.

· Menurut Ulama Ushul Fiqh (Ushuliyyun) : “ Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam selain dari Al Qur’an, baik itu perkataan, perbuatan, dan taqrir yang pantas dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syar’i “ ·

Menurut Ulama Fiqh (Fuqahaa) : “ Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu/wajib “ ·

Menurut Ulama Aqidah : “ As Sunnah adalah segala sesuatu yang sesuai dengan Kitab(Al Quran) dan Hadits serta Ijma’ Salafil Ummah baik itu masalah aqidah maupun ibadah yang merupakan lawan dari bid’ah “

Dari keempat definisi yang telah disebutkan oleh Ulama tersebut nampak bagi kita bahwa definisi yang disebutkan oleh Ulama hadits adalah definisi yang terlengkap dan cakupannya paling luas dan definisi inilah yang kita maksudkan dalam pembahasan ini. Namun demikian, jika kita perhatikan ketiga definisi yang lain tersebut maka akan didapati bahwa setiap definisi mempunyai maksud dan sasaran tertentu yang sesuai dengan bidang dan disiplin ilmu para ulama kita.rahimahumullah jami'an

Makna-makna lain dari As-Sunnah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits serta yang disebutkan oleh ulama Salaf kita adalah :

a. Peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang berulang yang telah terjadi pada ummat-ummat terdahulu Allah Ta’ala berfirman:

﴿ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُروا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ ﴾

“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah Ta’ala; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Q.S. Ali Imran:137).

b. Keputusan dan ketentuan Allah Ta’ala yang tetap dan pasti terjadi Firman Allah Ta’ala :

﴿ سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا ﴾

“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu.(QS.Al Israa:77) Firman Allah Ta’ala

﴿ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا ﴾

“Sebagai sunnah Allah Ta’ala yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah Ta’ala. ( Q.S.Al Ahzab:62) Juga firman-Nya:

﴿ سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا ﴾

Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu (Q.S.Al Fath:23)

c. Apa-apa yang dipegangi oleh para As-Salaf Ash-Sholih, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits 'Irbadh bin Sariyah t:

]…فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ…[

"…hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa rasyidin yang mendapatkan petunjuk,berpegan teguhlahlah padanya, gigitlah sunnah tersebut dengan gigi gerahammu…"(HR.Abu Daud,Tirmidzi dan Ibnu Majah)

d. Masalah-masalah pokok dari Ad-Dien ini;.hal ini ditunjukkan dengan penggunaan istilah sunnah oleh para ulama kita terhadap buku-buku aqidah mereka.Diantaranya: kitab As Sunnah dan Ushul Assunnah oleh Imam Ahmad, As Sunnah oleh Ibnu Abi 'Ashim, As Sunnah oleh Imam Al Khallal dan Assunnah oleh Abdullah bin Imam Ahmad rahimahumullah jami'an

Adapun makna hadits menurut :

a. Bahasa adalah : sesuatu yang baru atau sesuatu yang dibicarakan.

b. Istilah adalah : kebanyakan ulama kita menganggapnya bersinonim dengan As Sunnah sebagaimana definisi yang telah disebutkan menurut definisi Ahli Hadits Namun ada juga diantara ulama yang membedakannya dimana mereka menjadikan pengertian hadits adalah khusus sabda Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam dan ada juga yang mendefinisikannya sebagai setiap kejadian yang dinisbatkan kepada Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam walaupun beliau mengerjakannya hanya sekali di kehidupannya yang mulia.

III. KEDUDUKAN DAN FUNGSI AS-SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM

Telah sepakat ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa As-Sunnah merupakan hujjah dan salah satu sumber syari’at Islam

Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa As-Sunnah merupakan hujjah :

Dalil Pertama :AL QUR’AN

Sangat banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menunjukkan bahwa As-Sunnah merupakan hujjah. Dan ayat-ayat ini mempunyai banyak jenis, dan terkadang ayat yang satu mengandung lebih dari satu jenis atau macam. Berikut ini kami sebutkan 5 jenis ayat-ayat Al Qur’an tersebut :

1. Yang menunjukkan wajibnya beriman kepada Nabi Muhammad

r

﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah Ta’ala turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah Ta’ala turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (Q.S.An Nisaa:136)

﴿ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا % لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا ﴾

" Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, menguatkan (agama) Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang" (QS.Al Fath:8-9)

2. Yang menunjukkan bahwa Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan isi kandungan Al Qur’an Allah Ta’ala berfirman:

﴿ بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ﴾

"… keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, ( Q.S. An Nahl:44)

3. Yang menunjukkan wajibnya taat kepada Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam secara mutlak dan ketaatan kepadanya merupakan perwujudan ketaatan kepada Allah Ta’ala serta ancaman bagi yang menyelisihi dan mengubah sunnahnya Firman Allah Ta’ala :

﴿ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب ﴾

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat keras hukuman-Nya”. (QS.Al Hasyr:7) Juga Allah Ta’ala berfirman:

﴿ مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ﴾

"Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah Ta’ala. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka."(QS.An Nisaa;80) Allah Ta’ala berfirman:

﴿ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴾

"… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih"(QS.An Nuur:63)

4. Yang menunjukkan wajibnya mengikuti serta beruswah kepada beliau r dan mengikuti sunnahnya merupakan syarat untuk meraih mahabbatullah Firman Allah Ta’ala :

﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا ﴾

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Ta’ala dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah Ta’ala.” (Q.S. 33:21) Firman Allah Ta’ala

:

﴿ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴾

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah Ta’ala, ikutilah aku, niscaya Allah Ta’ala mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Ta’ala Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.Ali Imron:31)

5. Yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala U memerintahkan kepada beliau r untuk mengikuti firman-Nya dan menyampaikan seluruh wahyu serta penegasan bahwa beliau telah melaksanakan perintah tersebut dengan baik . Allah Ta’ala berfirman:

﴿ يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا(1)وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ﴾

“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah Ta’ala dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS.Al Ahzab:1-2) Firman Allah Ta’ala :

﴿ يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ ﴾

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah Ta’ala memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS.Al Maaidah:67) Juga firman Allah Ta’ala

:

﴿ وَإِنَّكَ لَتَدْعُوهُمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيم ﴾

" Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka kepada jalan yang lurus." (QS.Al Mu'minun:73)

Dalil Kedua : AL HADITS

Sebagaimana Al Qur’an, dalam Al Hadits juga sangat banyak memuat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa As Sunnah merupakan hujjah. Dalil-dalil tersebut bisa diklasifikasikan menjadi 3 jenis :

1. Kabar yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan bahwa beliau diberikan wahyu dan apa yang beliau sampaikan merupakan syari’at Allah Ta’ala, karenanya mengamalkan As Sunnah berarti mengamalkan Al Qur’an. Dan Iman tidak akan sempurna kecuali setelah mengikuti sunnahnya dan tidak ada yang bersumber dari beliau kecuali baik dan benar

عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ t عَنْ رَسُولِ اللَّهِ r أَنَّهُ قَالَ: ] أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السَّبُعِ [

- Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib t dari Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Ketahuilah sesungguhnya telah diberikan kepadaku Al Kitab (Al Qur’an) dan yang semisal dengannya (As Sunnah), ketahuilah akan datang seorang laki-laki yang kekenyangan di atas sofanya dan berkata :”Hendaknya kalian berpegang teguh pada Al Qur’an ini, apa yang kalian dapati di dalamnya tentang kehalalannya maka halalkan, dan apa yang kalian dapati tentang keharamannya maka haramkan”, (Rasulullah r bersabda):"Ketahuilah bahwa tidak dihalalkan bagi kalian keledai negeri dan setiap binatang buas yang bertaring



عن أبي هريرةt أن رسول الله r : ) مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ …(

“Dari Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwasanya Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :” Barangsiapa yang taat kepadaku sungguh ia telah taat kepada Allah Ta’ala dan siapa yang bermaksiat kepadaku sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah Ta’ala…” Dari Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu berkata: Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

] كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى [ رواه البخاري ومسلم

” Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Para sahabat) bertanya, “Siapa mereka itu yang enggan wahai Rosulullah” ? Beliau bersabda : “Barangsiapa yang menaatiku maka dia akan masuk surga dan siapa yang mendurhakaiku maka dialah yang enggan masuk surga “

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ e أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ r بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنْ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ e فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ فَقَالَ : ] اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقّ [

Dari Abdulah bin Amr t bahwasanya dia berkata: Dulu saya menulis seluruh apa yang saya dengar dari Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam yang ingin saya hafal, namun kaum Quraisy melarangku, mereka berkata: Sesungguhnya engkau menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam padahal Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam adalah seorang manusia biasa yang berbicara saat marah dan senang. Maka saya menghentikan penulisan tersebut lalu saya menyebutkan hal tersebut kepada Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda-sambil mengisyaratkan dengan jarinya ke mulut beliau-:”Tulislah ! Demi zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya tidak ada yang keluar darinya kecuali haq “

2. Perintah beliau untuk memegang teguh sunnahnya dan larangan beliau hanya mengambil dan mengamalkan Al Qur’an tanpa As Sunnah dan mengikuti hawa nafsu serta hanya menggunakan logika belaka.

عن الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ t أن رسول الله r َقَالَ : ] أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ [

Dari ‘Irbadh bin Sariyah t bahwasanya Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda :” Saya berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala, dan untuk mendengar serta taat (kepada pemimpin), walaupun (yang memerintah kalian) seorang hamba yang bersal dari Habasyah(Ethiopia), karena sesungguhnya siapa yang hidup diantara kalian sesudahku maka dia akan melihat ikhtilaf (perselisihan) yang banyak, maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rosyidin, pegangilah sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham kalian, dan jauhilah seluruh perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya segala yang baru itu bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat



- عن أبى رافع t عن النبي r قَالَ :] لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ الْأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لَا نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ [ رواه أبو داود و الترمذي و ابن ماجه

- Dari Abu Rafi’ t dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Saya tidak ingin mendapatkan salah seorang diantara kalian yang bersandar di atas sofanya, datang kepadanya perintahku atau laranganku lalu dia berkata :”Kami tidak tahu, apa yang kami dapat di dalam Al Qur’an itulah yang kami ikuti “

-ِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ tعَنْ النَّبِيِّ r قَالَ : ] دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ [ رواه البخاري ومسلم

- Dari Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Tinggalkanlah apa yang aku tinggalkan, karena sesungguhnya yang membinasakan orang sebelum kalian adalah pertanyaan mereka dan kedurhakaan mereka terhadap nabi-nabi mereka, maka jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah dan jika aku memerintah kalian sesuatu maka laksankanlah sekemampuan kalian “

3. Perintah beliau r untuk mendengarkan haditsnya, menghafalkannya, dan menyampaikannya kepada yang belum mendengarnya dan beliau menjanjikan bagi yang menyampaikannya berupa pahala yang sangat besar.

عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ t قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ e يَقُولُ : ] نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ [ رواه الترمذي وابن ماجه وأحمد

Dari Abdullah bin Mas’ud t berkata:” Saya telah mendengar Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Semoga Allah Ta’ala menjadikan berseri-seri wajah seseorang yang mendengarkan sesuatu dari kami kemudian dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengarkan. Boleh jadi yang disampaikan lebih memahami dari yang mendengar (langsung) “

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ: ] بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً …[

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash t bahwasanya Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda: ” Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat

…”

عَنْ ابْنِ أَبِي بَكْرَةَ t عَنْ النَّبِيِّ e قَالَ : ]… أَلَا لِيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ يَبْلُغُهُ أَنْ يَكُونَ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ سَمِعَهُ [ رواه البخاري و مسلم

Dari Abu Bakrah t dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:”… Perhatikanlah, hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, sebab boleh jadi sebagian orang yang disampaikan lebih paham dari orang yang (langsung) mendengar “

Dalil Ketiga : I J M A’

Jika kita menelusuri atsar-atsar ulama Salaf dan khabar-khabar ulama Khalaf sejak masa Khulafaur Rosyidin hingga masa kini tidak kita dapati seorang imam mujtahid pun bahkan seorang muslim yang awam yang mempunyai sebesar dzarrah keimanan pada hatinya yang mengingkari kewajiban untuk berpegang teguh pada As Sunnah dan berhujjah dengannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata:” Dan hendaknya diketahui bahwa tidak seorang pun diantara para imam yang diikuti oleh umat ini sengaja menyelisihi Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam dari sunnah yang kecil dan besar. Karena sesungguhnya, mereka telah sepakat dengan penuh keyakinan akan kewajiban mengikuti Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam dan bahwa setiap orang diterima dan ditolak perkataannya kecuali Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam “

Dalil Keempat : Bahwa kita tidak mungkin beribadah dengan benar jika hanya berpegang dengan Al Qur’an.

Tidak mungkin bagi akal manusia biasa yang tidak diturunkan kepadanya wahyu dan Allah Ta’ala I tidak menguatkan dengannya dapat mampu memahami secara rinci syari’at ini beserta hukum-hukumnya jika hanya berpegang dengan Al Qur’an. Karena Al Qur’an mengandung beberapa dalil-dalil yang mujmal (global) yang membutuhkan penjelasan. Berikut ini kami sebutkan beberapa contoh urgensi As Sunnnah untuk memahami makna Al Qur’an :

1. Firman Allah Ta’ala dalam Q.S. Al Maaidah:38

﴿ وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴾

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah Ta’ala. Dan Allah Ta’ala Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Ayat ini menyebutkan pencuri secara mutlak demikian pula tangan yang harus dipotong, jika seseorang hanya berpegang pada ayat ini maka boleh jadi dia akan mengatakan setiap orang yang mencuri wajib dipotong tangannya walaupun jumlah yang kecil demikian pula dia akan mengatakan bahwa seluruh bagian yang dinamakan tangan harus dipotong. Namun dalam hadits disebutkan bahwa pencuri yang dipotong tangannya adalah hanyalah yang mencuri sebesar 1/4 dinar dan lebih

عَنْ عَائِشَةَ : قَالَ النَّبِيُّe : ] تُقْطَعُ الْيَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدً ا [

Dari Aisyah radhiyallohu anha.berkata bahwa Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dipotong tangan (jika mencuri) seperempat dinar atau lebih Adapun batasan tangan yang dipotong adalah hingga persendian (pergelangan tangan).sebagaimana yang diketahui dari perbuatan Rasulullah r dan para sahabatnya.

2. Firman Allah Ta’ala :

﴿ ُقلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الحياة الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴾

"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah Ta’ala yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.(QS.Al A'raaf:32) Zhohir ayat ini adalah seluruh perhiasan halal, jika kita hanya berpegang pada ayat ini maka kita akan menghalalkan seluruh jenis perhiasan namun dalam sebagian hadits disebutkan bahwa ada beberapa perhiasan yang diharamkan, diantaranya emas dan sutra bagi laki-laki. Rasulullah r bersabda:

﴿َ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّ لِإِنَاثِ أُمَّتِي الْحَرِيرَ وَالذَّهَبَ وَحَرَّمَهُ عَلَى ذُكُورِهَا ﴾

"Sesungguhnya Allah Ta’ala U menghalalkan sutra dan emas bagi ummatku yang wanita dan mengharamkannya bagi kaum lelakinya"

3. Firman Allah Ta’ala

} وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينً {

"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS.An Nisaa:101) Zhohir ayat ini menunjukkan bahwa mengqoshor sholat saat perjalanan itu hanya dilaksanakan jika kita takut dari gangguan orang kafir. Namun dalam sunnah Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa qoshor dalam safar adalah sedeqah dari Allah Ta’ala yang sepantasnya diterima walaupun tidak khawatir gangguan orang kafir

عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ﴿ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا﴾ فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ e عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ :] صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ [

Dari Ya'la bin Umayyah berkata: Saya bertanya kepada Umar bin Khaththob t tentang firman Allah Ta’ala(yang artinya):"… maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir".Sekarang manusia(kaum muslimin) sudah aman?Beliau menjawab:"Aku juga pernah heran dari apa yang kamu herankan, lalu aku bertanya kepada Rasulullah r tentang hal tersebut"maka beliau menjawab:"Itu adalah sedekah yang Allah Ta’ala bersedekah kepada kalian dengannya, maka terimalah sedekah tersebut!"

4. Firman Allah Ta’ala :

﴿ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ ﴾

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS.Al An'aam:82) Ayat ini menyebutkan zholim secara umum baik yang besar maupun kecil, karenanya sebagian shahabat merasa berat dengan ayat ini, lalu datang Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa makna zholim di ayat ini adalah syirik.

5. Firman Allah Ta’ala

:

﴿ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِه ِ ﴾

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah Ta’ala,…"(QS.Al Maaidah:3) Ayat ini menyebutkan haramnya darah dan bangkai tanpa adanya perkecualian. Namun As Sunnah menjelaskan bahwa ada bangkai yang halal yaitu bangkai belalang dan ikan serta adanya darah yang halal yaitu hati dan limpa. Itulah beberapa contoh dari sekian banyak contoh-contoh yang menunjukkan urgensi As Sunnah dalam memahami Al Qur’an, karenanya tidaklah berlebihan apa yang dikatakan oleh seorang faqih dari kalangan tabi’in yaitu Imam Abu Abdillah Mak-hul rahimahullohu (wafat thn 113 H) :

« القرآن أحوج إلى السنة من السنة إلى القرآن »

Al Qur’an lebih membutuhkan As Sunnah daripada As Sunnah kepada Al Kitab(Al Quran). Bahkan imam Yahya bin Abi Katsir (wafat tahun 132 H) menegaskan,

« السُّنَّةُ قَاضِيَةٌ عَلَى الْقُرْآنِ وَلَيْسَ الْقُرْآنُ بِقَاضٍ عَلَى السُّنَّةِ »

“As Sunnah yang memutuskan Al Quran dan bukan sebaliknya”

IV. HUBUNGAN ANTARA AL QUR’AN DAN AS SUNNAH

As Sunnah bersama Al Qur’an berada dalam martabat yang satu jika ditinjau dari segi keberadaannya sebagai hujjah dalam syari’at ini. Karenanya ketika kita mendapati beberapa nash yang kelihatannya bertentangan diantara keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) tidak boleh kita langsung meninggalkan As Sunnah dengan alasan bertentangan dengan dalil yang lebih tinggi martabatnya, bahkan keduanya harus digabungkan kemudian dicari jalan keluarnya. Ditinjau dari segi hukum maka hubungan Al Qur’an dengan As Sunnah adalah :

1. Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah tercantum di dalam Al-Qur’an. Contoh : Hukum jilbab dan menundukkan pandangan.

2. Terkadang As-Sunnah menafsirkan dan merinci hal-hal yang masih bersifat global dalam Al-Qur’an. Contoh : Di dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala U memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan sholat dan haji, lalu datang As-Sunnah menjelaskan secara rinci kaifiyat (tata cara) pelaksanaan kedua ibadah tersebut.Kebanyakan as Sunnah termasuk dalam jenis yang kedua ini

3. Terkadang As-Sunnah menetapkan hukum yang tidak disebutkan di dalam Al Qur’an. Contoh : Hukum mencukur alis, mengikir gigi, penjelasan tentang harta waris bagi nenek, hukum rajam bagi pezina yang sudah menikah dan lain-lain.

V. SIKAP PENGIKUT HAWA NAFSU DAN FIRQOH-FIRQOH YANG SESAT TERHADAP AS SUNNAH

Sesungguhnya para musuh Islam dari berbagai kalangan senantiasa tidak henti-hentinya memikirkan makar untuk menghancurkan Ad Dien ini. Dan salah satu yang menjadi sasaran mereka adalah As Sunnah Al Muthohharoh yang merupakan salah satu sumber syari’at Islam. Diantara usaha-usaha yang mereka lakukan untuk memerangi As Sunnah :

1. Menolak As Sunnah sebagai hujjah, dan ini terbagi dalam beberapa macam:

a. Menolaknya secara mutlak.

b. Menolak hadits-hadits Ahad terutama dalam masalah Aqidah.

c. Menolak hadits-hadits yang menurut sangkaan mereka bertentangan dengan akal

d.Menolak hukum-hukum yang terdapat di dalam As Sunnah yang tidak terdapat dalam Al Qur’an atau dianggap bertentangan dengan isi Al Qur’an.

2. Tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan kepada beberapa rowi hadits, seperti pada sahabat yang mulia Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu dan tokoh tabi’in imam Az Zuhri rahimahullah

3. Membuat dan menyebarkan hadits-hadits palsu di tengah-tengah kaum muslimin.

VI. ARGUMEN-ARGUMEN MUSUH-MUSUH SUNNAH DAN JAWABAN ULAMA AHLI HADITS TERHADAP MEREKA

Berikut ini kami akan jelaskan argumen-argumen (syubhat-syubhat) mereka serta jawaban dan sanggahan para Ahli Hadits terhadap serangan dan syubhat yang mereka lemparkan tersebut. Dan untuk kesempatan kali ini kami hanya menitikberatkan bantahan kepada mereka yang menolak As Sunnah secara mutlak. Wallohul Muwaffiq.

Syubhat I : Firman Allah Ta’ala yang menunjukkan bahwa Al Qur’an telah meliputi segala sesuatu ,diantaranya:

﴿ وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُون َ ﴾

"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan..(QS.Al An'aam:38) Juga firman-Nya:

﴿ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ ﴾

" Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri."(QS. An Nahl:89)

Jawaban : Al Kitab yang dimaksud dalam Q.S. Al An'aam:38 adalah Lauh Mahfuzh dan bukan Al Qur’an. Seandainya kita menafsirkannya dengan Al Qur’an sebagaimana pada Q.S.An Nahl:89 maka yang dimaksud adalah Al Qur’an telah menjelaskan seluruh hal-hal yang pokok dan hukum secara global.

Syubhat II : Allah Ta’ala sudah menjamin kemurnian Al Qur’an dengan penjagaan-Nya dan hal ini tidak terdapat pada As Sunnah . Mereka berdalilkan dengan firman Allah Ta’ala

:

﴿ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ﴾

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S.Al Hijr:9 )

Jawaban : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjamin kemurnian syari’at ini yang mencakup Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana firman-Nya

﴿ يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴾

"Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah Ta’ala dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah Ta’ala tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (Q.S.At Taubah:32). Dan Ulama kita juga berbeda pendapat dalam menafsirkan:

﴿ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ﴾

a. Ada yang mengatakan :” Menjaganya” berarti menjaga Muhammad r b. Ada juga yang mengatakan :”Menjaganya” berarti menjaga syari’at yang mencakup Al Qur’an dan As Sunnah. c. Ada juga yang menafsirkannya dengan Al Qur’an namun ini bukanlah pembatasan, dan secara logika dikatakan bahwa jika Al Quran dijaga maka sangat pantas jika penjelasannya yaitu As Sunnah pun dijaga.Wallohu A'lam.

Syubhat III : Seandainya As Sunnah merupakan hujjah tentu Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk menuliskannya dan tentu hal tersebut akan dilakukan oleh para shahabat dan tabi’in sesudahnya.

Jawaban :

1. Sesuatu yang hujjah tidak harus ditulis, ada beberapa hal yang menunjukkan hal tersebut:

a. Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad r mengutus para sahabat untuk berda'wah ke berbagai tempat dan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum Islam serta menegakkan syiar-syiarnya. Dan tidak seluruh utusan tersebut dilengkapi dengan surat atau tulisan sebagai hujjah pada saat menyampaikan da'wahnya pada orang-orang tersebut.

b. Kita telah mengetahui bersama bahwa shalat adalah rukun Islam yang kedua yang merupakan rukun yang sangat penting dalam Islam ini dan tidak mungkin kita mengetahui kaifiyah shalat benar jika hanya berpegang pada Al Quran namun kita harus ruju' ke sunnah-sunnah Rasulullah . Dan tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Rasulullah r menyuruh para sahabat untuk menulis apa yang beliau telah ajarkan baik berupa perkataan ataupun perbuatan beliau tentang kaifiyah shalat yang benar

c. Telah kita sebutkan dalam bagian III dari tulisan ini yang menunjukkan bahwa sunnah adalah hujjah dalam syariat, namun demikian tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa setiap sunnah mesti ditulis. Seandainya suatu hujjah wajib untuk ditulis maka tidak mungkin Rasulullah r mengabaikan dan melalaikan masalah besar tersebut.

2. Sebagian ulama mengedepankan hafalan daripada tulisan Ini bisa kita lihat dalam buku-buku para ulama kita,Ulama Ushul Al Fiqh umpamanya mereka mendahulukan hadits yang didengar (masmu') dari hadits yang tertulis(maktub) pada saat terjadinya perbedaan antara keduanya. Demikian pula para Ahli Hadits, bahkan mereka berbeda pendapat dalam masalah diterima tidaknya periwayatan dengan metode munawalah (meriwayatkan hadits dari buku yang didapat dari salah seorang muhaddits) ataupun mukatabah (periwayatan lewat tulisan) padahal mereka sepakat dengan metode periwayatan dengan cara mendengar (as sama') dari muhaddits kemudian menghafalkannya.

3. Beberapa hadits telah menunjukkan bahwa Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kepada beberapa sahabat untuk menulis hadits bahkan beliau memerintahkan menulisnya. Sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang kisah Abdullah bin Amr bin Al Ash t dan juga hadits berikut ini:

عن أَبي هُرَيْرَةَ t قَالَ لَمَّا فُتِحَتْ مَكَّةُ قَامَ النَّبِيُّ r فَذَكَرَ الْخُطْبَةَ خُطْبَةَ النَّبِيِّ e قَالَ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ يُقَالُ لَهُ أَبُو شَاهَ, فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُبُوا لِي , فَقَالَ: ] اكْتُبُوا لِأَبِي شَاه [

Dari Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu ketika kota Mekkah sudah ditaklukkan, Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk berkhutbah-lalu Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu menyebutkan khutbah beliau r- lalu berdiri seseorang dari penduduk Yaman yang dipanggil dengan Abu Syah seraya berkata: "Wahai Rasulullah , tuliskanlah untukku (khutbahmu)!"Maka beliau bersabda kepada para sahabat: "Tuliskanlah (khutbah ini) untuk Abu Syah" Imam Khathib Al Baghdadi rahimahullah telah menulis buku khusus yang beliau beri judul Taqyiidul Ilmi untuk menjelaskan dalil-dalil yang menegaskan bahwa sunnah telah ditulis sejak zaman Rasulullah r dan beliau dalam buku tersebut juga membantah syubhat-syubhat orang yang menafikannya

Syubhat IV : Hadits-hadits Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam yang mengisyaratkan akan munculnya hadits-hadits yang palsu dan perintah beliau untuk menghadapkan setiap hadits (untuk diuji kebenarannya) dengan Al Qur’an. Sebagaimana mereka menyebutkan hadits berikut ini:

] ما جاءكم فاعرضوه على كتاب الله , فما وافقه فأنا قلته , و ما خالفه فلم أقله [

“Apa yang datang kepada kalian (dari sunnahku) maka perhadapkanlah kepada Al Quran, jika sesuai maka sayalah yang mengatakannya dan jika tidak maka saya tidak mengatakannya” Mereka menyebutkan hadits-hadits seperti ini untuk menunjukkan bahwa hadits bukanlah hujjah yang berdiri sendiri namun hanya ikut dengan Al Quran, sehingga setiap hadits yang datang perlu terlebih dahulu diperhadapkan dengan Al Quran.

Jawaban : Bahwa seluruh hadits-hadits tersebut lemah dan palsu sehingga tidak pantas dijadikan hujjah, Imam Asy Syafi’I rahimahullah termasuk orang yang pertama kali menjelaskan kebatilan-kebatilan riwayat-riwayat tersebut dalam buku beliau Ar Risalah, lalu diikuti oleh Imam Baihaqi dan Imam Suyuthi

VII. KHATIMAH(PENUTUP)

Inilah akhir dari tulisan yang ringkas dan sederhana ini yang merupakan silsilah pertama dari makalah yang berkaitan dengan As Sunnah dalam upaya menjelaskan hakikat As Sunnah dan kedudukannya serta jawaban terhadap berbagai syubhat yang dilemparkan kepadanya terutama dari mereka yang menolaknya secara mutlak. Adapun bagi mereka yang menolak sebagiannya atau bagi mereka yang menyebarkan hadits-hadits dhoif dan maudhu’ dengan berbagai dalihnya maka insya Allah Ta’ala akan kami jelaskan jawaban terhadap syubhat-syubhat mereka dalam silsilah-silsilah yang berikut. Yang terakhir sekali, perlu kami ingatkan bahwa As Sunnah merupakan senjata utama dalam menghadapi musuh-musuh Ad Dien ini terutama mereka dari kalangan ahlul bid’ah yang tidak mampu menghafal dan memahami sunnah ini sehingga mereka hanya mengandalkan logika-logika belaka dalam upaya menghancurkan serta merusak eksistensi Ad Dien yang mulia ini. Simaklah dua wasiat agung dari sahabat yang mulia Amirul Mukminin Umar bin Khaththob t:

1- « إِيَّاكُم وَ أَصحَابَ الرَّأيِ فَإِنَّهُم أَعدَاءُ السُّنَّةِ أَعيَتهُمُ الأَحَادِيثُ أَن يَحفَظُوهَا فَقَاُلُوا بِالرَّأيِ فَضَلُّوا وَ أَضَلُّوا »

Artinya:”Hati-hati kalian terhadap ashabur ro’yi(orang-orang yang menuhankan akalnya) sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh sunnah,mereka tidak mampu menghafal hadits-hadits sehingga mereka hanya berbicara berdasarkan logika belaka, maka mereka sesat lagi menyesatkan



2- » إِ نَّهُ سَيَأْتِي نَاسٌ يُجَادِلُونَكُمْ بِشُبُهَاتِ الْقُرْآنِ فَخُذُوهُمْ بِالسُّنَنِ فَإِنَّ أَصْحَابَ السُّنَنِ أَعْلَمُ بِكِتَابِ اللَّهِ «

“Sesungguhnya akan datang sekelompok manusia yang mendebatmu dengan membawa syubhat-syubhat Al Quran (ayat-ayat yang mutasyabihat) , maka hadapilah mereka dengan sunnah-sunnah Rasulullah r karena sesungguhnya ashabus sunnah (orang yang berpegang teguh kepada As Sunnah) adalah orang yang paling memahami Al Quran” Imam Malik rahimahulloh juga mengingatkan kita dengan pesan penutup ini,

« السنَّة سَفينةُ نوح مَن رَكبَها نجَا ومَن تَخَلّفَ عنَها غَرِقَ »

“As Sunnah ibaratnya perahu nabi Nuh, siapa yang mengendarainya akan selamat dan siapa yang tidak mengendarainya akan tenggelam”

DAFTAR MAROJI’:

1. Hujjiyah As Sunnah; Al ‘Allamah DR.Abdul Ghani Abdul Kholiq Cet.II,Thn 1413 H. Daarul Wafaa,Mesir

2. As Sunnah Wa Makanatuha Fii At Tasyri’ Al Islami;DR.Mushtafa As Siba’i Cet.IV,Thn 1405 H. Al Maktab Al Islami, Beirut-Libanon

3. Tafsir Al Baghawi(Ma’alimut Tanzil); Al Imam Husain bin Mas’ud Al Baghawi Tahqiq:Muhammad Abdullah An Namir dkk Cet.III.Thn.1416 H, Daar Ath Thoyyibah,Riyadh-Saudi Arabia

4. Tadwin As Sunnah An Nabawiyyah; DR.Muhammad bin Mathor Az Zahroni Cet.I,Thn.1417 H. Daar Al Hijroh,Riyadh-Saudi Arabia

5. Miftahul Jannah Fi Al Ihtijaj Bi As Sunnah; Al Imam Jalaluddin As Suyuthi Tahqiq: Mushtafa Abd.Qadir Atho Cet.I,Thn.1407 H, Daar Al Kutub Al Islamiyyah,Beirut-Libanon

6. Tahqiq Ma’na As Sunnah; As Sayyid Sulaiman An Nadwi Takhrij wa Ta’liq: Asy Syaikh Al Albani dll Cet.I.Thn 1411 H.Al Maktab Al Islami,Beirut-Libanon

7. Al Adhwaa As Saniyyah ‘Ala Madzahib Rafidhi Al Ihtijaj Bi As Sunnah; DR.Umar Sulaiman Al Asyqar Cet.I,Thn.1419 H.Daar An Nafaais-Yordania

8. Taqyid Al Ilmi; Al Imam Khothib Al Baghdadi Tahqiq:Yusuf Al ‘Isy Cet.II, Thn.1974 M. Daar Ihyaa As Sunnah An Nabawiyyah

9. Manzilah As Sunnah Fi Al Islam; Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Cet.III-Thn.1400 H, Ad Daar As Salafiyyah-Kuwait

10.Ar Risalah; Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i Tahqiq:Asy Syaikh Ahmad Syakir Daar Al Kutub Al Ilmiyyah,Beirut-Libanon

11 Raf’ul Malaam An Aimmatil A’laam; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Tahqiq: Zuhair Syawisy Cet. III, Al Maktab Al Islami,Beirut-Libanon

12. Jami’ Al Ulum wa Al Hikam; Imam Ibnu Rajab Al Hanbali Tahqiq: Syu’aib Al Arnouth dan Ibrahim Bajis Cet. IV-Thn 1413 H, Muassasah Ar Risalah-Beirut

13. Al Hujjah Fii Bayan Al Mahajjah; Al Imam Abul Qasim Al Ashbahani Tahqiq : Asy Syaikh Muhammad bin Mahmud Abu Ruhayyim Cet. I-Thn. 1411 H, Daar Ar royah- Riyadh

14. Sunan Ad Darimi; Imam Ad Darimi Tahqiq: Dr. Mushtafa Al Bugha Cet.II-Thn.1417 H, Daar Al Qalam –Dimasyq

15. Al Faqih wa Al Mutafaqqih; Al Imam Al Khathib Al Baghdadi Tahqiq: Adil bin Yusuf Al Azazi Cet.I-Thn. 1417 H, Daar Ibn al Jauzi- Ad Dammam (KSA)

16. Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadhlihi; Al Imam Ibnu Abd. Barr Tahqiq: Abul Asybal Az Zuhairi Cet. I-Thn. 1414 H Daar Ibnul Jauzi-Ad Dammam(KSA)

17. Al Kifayah fi ‘Ilmi Ar Riwayah; Al Imam Al Khathib Al Baghdadi Tahqiq : DR. Ahmad Umar Hasyim Cet. II-Thn 1406 H, Daar Al Kitab Al ‘Araby – Beirut

18. Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi; Abul Fadhl Al Muqry’ Tahqiq : DR. Nashir Al Judai’ Cet I-Thn 1996 M, Daar Al Athlas- Ar Riyadh



عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : [ إِنَّمَا الأَعْمالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَ رَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَ رَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِامْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ] رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِيْنَ أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَةَ الْبُخَارِيُّ وَ أبُو الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمٍ الْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ فيِ صَحِيْحَيْهِمَا الَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ
1. Dari Amirul Mu’minin Abu Hafsh radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanya memperoleh (sesuai) apa yang ia niatkan. Maka siapa yang hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya itu karena dunia yang ingin diraihnya atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah apa yang ia tuju”. (Diriwayatkan oleh dua Imam ahli hadits : Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abu Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi dalam dua kitab shahih mereka yang merupakan kitab yang paling shohih diantara kitab-kitab hadits).

KEUTAMAAN HADITS

Hadits ini merupakan salah satu contoh Jawami' Al-Kalim (kalimat-kalimat yang ringkas bermakna luas) dan para ulama kaum muslimin telah sepakat bahwa hadits ini sangat agung, mempunyai banyak faidah dan derajatnya shahih.

Hadits ini merupakan setengah dari Ad-Dien karena merupakan mizan (timbangan) amalan batin, sebagaimana diketahui Ad-dien terbagi atas 2 yakni :

· amalan batin (mizannya Hadits-1 dari Arbain Nawawi)

· amalan zhohir (mizannya Hadits-5 dari Arbain Nawawi)

Abu Abdillah[1] menyatakan bahwa tidak ada satu hadits pun yang lebih lengkap, luas cakupannya dan lebih banyak faidahnya melebihi hadits ini.

Imam Ahmad رحمه الله تعالى berkata: “ Pokok-pokok Islam ada pada 3 hadits, yaitu hadits Umar (H-1), hadits ‘Aisyah (H-5), dan hadits Nu’man bin Basyir (H-6)

Imam Syafi’i رحمه الله تعالى mengatakan: ” Hadits ini merupakan 1/3 ilmu dan masuk ke dalam 70 bab fiqh “, sedang Imam Bukhari telah memasukkan hadits ini dalam 7 bab dalam kitab Shohih beliau

Imam Asy-Syaukani رحمه الله تعالى menuturkan : “Hadits ini merupakan salah satu kaidah dalam Islam hingga dikatakan dia mengandung sepertiga ilmu” Beliau berkata pula: “Hadits ini mempunyai faidah-faidah yang telah dipaparkan dalam kitab-kitab tebal… dan seyogyanya disusun kitab yang khusus untuk menjelaskannya”.

Abdurrahman bin Mahdi رحمه الله تعالى berkata : “ Seandainya saya menulis sebuah kitab yang terdiri dari beberapa bab-bab, maka sungguh saya akan menjadikan hadits Umar bin Khoththob di dalam tiap bab “ Dan beliau juga berkata : “Barangsiapa yang hendak menyusun suatu kitab hendaknya memulai dengan hadits ini”. Dan nasehat ini telah diamalkan oleh para ulama di antaranya:

· Imam Bukhari dalam Shohihnya

· Al-Hafizh Taqiyuddin Abdul Ghoni Al Maqdisi dalam ‘Umdahtul Ahkam

· Al Hafizh Zainuddin Abdurrahman Al-’Iraqi dalam Taqribul Asanid wa Tartib Al Masanid

· Imam An-Nawawi dalam Riyadhush Shalihin ,Arbain An-Nawawiyah, dan Al-Adzkar

· Imam Suyuthi dalam Al Jami’ Ash-Shogir

Ini menunjukkan pengagungan ulama terhadap hadits ini yakni mereka memandang hendaknya hadits ini didahulukan dalam setiap kitab yang disusun, sebagai peringatan bagi para penuntut ilmu untuk memperbaiki niatnya dan sebagai isyarat bahwa setiap amalan yang tidak ditujukan untuk Allah maka amalan tersebut batil, tidak ada buahnya di dunia dan di akhirat.

BIOGRAFI SAHABAT PEROWI HADITS

Nama, Kunniyah dan Laqab beliau :

Nama beliau adalah Umar bin Al-Khaththab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Rozah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib Al-Qurasyi Al ‘Adawi

Kunniyah : Abu Hafsh (”Hafsh” artinya anak singa)

Laqab (gelaran) : Al-Faruq ( pembeda ) karena setelah keislaman beliau semakin nampak al-Haq dan Al-Bathil.

Kelahiran beliau :

Beliau lahir 3 tahun sesudah Tahun Gajah (40 tahun sebelum hijrah)

Diantara keutamaan beliau:

· Beliau adalah khalifah kedua bagi kaum muslimin sesudah wafatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah I menguatkan Ad-Din dengan keislaman beliau

· Pada zaman jahiliyah beliau termasuk pahlawan dan pemuka Quraisy. Sebelum masuk Islam, Umar sangat keras kepada Islam dan kaum Muslimin. Beliau masuk Islam 5 tahun sebelum hijrah dan keislaman beliau merupakan kemuliaan dan kekuatan serta kelapangan bagi kaum muslimin sebagaimana penuturan Ibnu Mas’ud: “Kami dahulu tidak pernah menyembah Allah secara terang-terangan hingga masuknya Umar ke dalam Islam“.

· Seorang pemberani sehingga sangat ditakuti oleh jin dan manusia. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda pada Umar radhiyallahu ‘anhu:

[ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطُّ سَالِكًا فَجًّا إِلَّا سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ ]

“ Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya,tidaklah syetan berpapasan denganmu pada suatu jalan, melainkan syaithan akan mencari jalan yang lain (HR.Bukhari dan Muslim)

· Beliau senantiasa berkata benar dan merupakan sahabat yang selalu mendapatkan ilham (bimbingan Ilahi). Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :

 إِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ

"Sesungguhnya Allah ta’ala menjadikan al haq pada lisan dan hati Umar radhiyallahu ‘anhu" (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( لَوْ كَانَ بَعْدِي نَبِيٌّ لَكَانَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ )

:"Seandainya ada Nabi sesudahku maka dia adalah Umar bin Khaththab” (HR.Tirmidzi dan Ahmad di musnad beliau dan dalam Kitab Fadhail As-Shohabah 1:246)

Beliau termasuk salah seorang dari 10 orang sahabat yang dijamin masuk syurga, sebagaimana sabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh sahabat Said bin Zaid radhiyallohu anhu :

] عَشْرَةٌ فِي الْجَنَّةِ النَّبِيُّ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدُ بْنُ مَالِكٍ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَلَوْ شِئْتُ لَسَمَّيْتُ الْعَاشِرَ قَالَ فَقَالُوا مَنْ هُوَ فَسَكَتَ قَالَ فَقَالُوا مَنْ هُوَ فَقَالَ هُوَ سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ [

"Sepuluh sahabat (yang dijamin) masuk surga : Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Malik (Sa’ad bin Abi Waqqash), Abdurrahman bin Auf." (Said bin Zaid t)-sahabat perowi hadits ini- berkata: "Jika aku ingin maka aku menyebut yang kesepuluh" Mereka bertanya:"Siapa orang itu?" Beliau(Said) diam, namun mereka bertanya lagi: "Siapa dia?" Beliau berkata: "Orang itu adalah Said bin Zaid " (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

· Beliau adalah orang yang pertama kali menetapkan penanggalan Hijriyah sebagai penanggalan kaum muslimin kemudian menjadi ijma’ dikalangan sahabat.

· Beliau telah berhijrah dan berjihad bersama Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan dibai’at menjadi khalifah saat wafatnya Abu Bakart tahun 13 Hijriyah

· Beliau sangat terkenal dengan keadilannya.

· Umat Islam banyak mengalami kejayaan sejak kekhalifaan beliau. Pada masa pemerintahannya kaum muslimin berhasil membuka banyak wilayah untuk pemerintahan kaum muslimin dan menaklukkan banyak negeri diantaranya Syam, Iraq, Al Quds,Mesir dan lain-lain.

Wafat Beliau :

Beliau wafat 23 H dalam usia 65 tahun di tangan Abu Lu’lu’ah Al-Majusi yang menikamnya secara licik ketika sedang memimpin sholat subuh dan beliau meninggal dunia tiga hari setelah peristiwa tersebut. Beliau dimakamkan di sisi nabi Muhammad r dan Abu Bakar Ash Ashiddiq Radhiyallahu ‘anhuma.

KEDUDUKAN HADITS

Perlu diketahui meskipun hadits ini ditakhrij oleh banyak Imam dan semuanya bersepakat akan keutamaan dan kedudukan hadits ini yang sangat tinggi namun hadits ini tidak termasuk dalam hadits mutawatir. Hadits ini jika dilihat di awal sanadnya adalah hadits gharib, tapi jika dilihat akhir sanadnya adalah hadits masyhur.

· Hadits ini termasuk hadits Ahad karena hanya diriwayatkan dari Umar bin Khattab t, ada riwayat lain tetapi dhoif yaitu dari Abu Hurairah t, Ali t, Anas t dan Abu Said Al Khudrit

Sanad hadits :

untuk ibadah-ibadah yang satu paket (sholat,shaum dll) maka harus ikhlas dari awal sampai akhir

§ untuk ibadah-ibadah yang terputus-putus (membaca Al-Qur’an, menuntut ilmu dll) maka hanya dibutuhkan pembaharuan niat

4. Jika ada seseorang yang ikhlas/ murni niatnya sejak awal hingga akhir lalu mendapatkan penghormatan/penghargaan dari manusia tanpa ia harapkan ;maka penghargaan ini tidaklah mengurangi pahalanya, bahkan hal itu adalah kabar gembira dari Allah U yang dipercepat sebelum mendapatkan pahala yang lebih mulia di hari kiamat kelak, sebagaimana hadits Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu :

عن أبي ذرt عن النبي r: أنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَعمَلُ العَمَلَ ِللهِ مِنَ الخَيرِ يَحمَدُهُ النَاسُ عَلَيهِ ؟ فقال : تِلكَ عَاجِلٌ بُشرَى المُؤمِنَ (رواه مسلم)

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi r : sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamditanya tentang seorang laki-laki yang beramal kebaikan karena Allah kemudian manusia memujinya , kamudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab : Itu adalah khabar gembira yang dipercepat bagi orang mu’min (H.R. Muslim)

Beberapa contoh permasalahan tentang niat :

1. Si A bersedekah kepada si B yang menurutnya berhak mendapatkan sedekah, padahal ternyata Si B adalah orang yang tidak berhak untuk memperoleh sedekah, maka Si A tetap mendapatkan pahala apa yang ia niatkan.

2. Seseorang yang berniat berhubungan dengan istrinya tetapi ternyata wanita tersebut bukan istrinya maka ia tidak berdosa

3. Orang yang berniat untuk melakukan maksiat, tetapi tidak jadi dilakukan, maka hal ini terbagi

dalam beberapa kategori :

§ Jika ia telah berazam lalu meninggalkan perbuatan maksiat tersebut karena Allah ta’ala ; maka tidak berdosa bahkan ia diganjar dengan pahala

§ Jika telah berazam lalu ditinggalkan karena takut manusia ; maka ia berdosa.

Kedua kategori dengan syarat ia sudah berazam (tekad kuat) bukan sekedar bisikan-bisikan jiwa

KESIMPULAN

Seorang muslim hendaknya senantiasa memperhatikan hati dan niatnya dalam beramal, karena amalan apapun yang dia lakukan walaupun itu mulia kedudukannya namun jika dia tidak ikhlas maka dia tidak akan mendaptkan apa-apa di akhirat kelak kecuali adzab Allah I. Cukuplah hadits ini merupakan pelajaran dan peringatan yang besar bagi kita semua:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ َ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ r يَقُولُ:] إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ [

Dari Abu Hurairah t berkata: Saya telah mendengar Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:"Sesungguhnya manusia yang pertama kali diputuskan di hari kiamat adalah seorang yang mati syahid (di medan jihad) ketika dia didatangkan dihadapan Allah lalu diperlihatkan kepadanya nikmat Allah(waktu di dunia) maka dia mengenalinya ,lalu Allah bertanya kepadanya: "Apa yang telah kamu lakukan (di dunia) dengan nikmat-nikmat tersebut?Orang itu menjawab:"Saya telah berperang di jalan-Mu hingga mati syahid" Allah U berfirman:"Kamu dusta, akan tetapi kamu berperang agar dikatakan sebagai pemberani dan hal itu sudah dikatakan (di dunia) maka diperintahkan (pada malaikat) untuk menyeret orang tersebut dengan wajahnya hingga dicampakkan ke api neraka. Dan orang (kedua) yang menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Quran ketika dia didatangkan dihadapan Allah lalu diperlihatkan kepadanya nikmat Allah(waktu di dunia) maka dia mengenalinya ,lalu Allah bertanya kepadanya: "Apa yang telah kamu lakukan (di dunia) dengan nikmat- nikmat tersebut?Orang itu menjawab:"Saya telah menuntut ilmu,mengajarkannya dan membaca Al Quran karena-Mu" Allah U berfirman:"Kamu dusta, akan tetapi kamu menuntut ilmu agar digelari sebagai seorang Alim dan kamu membaca Al Quran agar digelari sebagai seorang qari' dan hal itu sudah dikatakan (di dunia) maka diperintahkan (pada malaikat) untuk menyeret orang tersebut dengan wajahnya hingga dicampakkan ke api neraka. Dan orang (ketiga) seorang yang telah Allah lapangkan baginya dan menganugrahkan kepadanya seluruh perbendaharaan harta ketika dia didatangkan dihadapan Allah lalu diperlihatkan kepadanya nikmat Allah(waktu di dunia) maka dia mengenalinya ,lalu Allah bertanya kepadanya: "Apa yang telah kamu lakukan (di dunia) dengan nikmat-nikmat tersebut?Orang itu menjawab:"Tidaklah saya meninggalkan sebuah jalan untuk berinfak yang Kamu cintai kecuali saya berinfak karena-Mu " Allah U berfirman:"Kamu dusta, akan tetapi kamu melakukan itu untuk dikatakan sebagai dermawan dan hal itu sudah dikatakan (di dunia) maka diperintahkan (pada malaikat) untuk menyeret orang tersebut dengan wajahnya hingga dicampakkan ke api neraka.(HR.Muslim)

Shahabat yang mulia Muawiyah t ketika mendengarkan hadits di atas beliau menangis hingga pingsan dan ketika siuman beliau mengatakan : "Shadaqallohu wa Rasuluhu (Telah benar firman Allah dan sabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam); Allah I berfirman :

﴿ مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ(15)أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴾

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (QS. Huud : 15-16)[33]

Camkan dan ingat pula dua hadits berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ U لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا (رواه أبو داود و ابن ماجه و أحمد)

Dari Abu Hurairah t berkata: Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah namun dia tidak menuntutnya melainkan mendapatkan sesuatu dari benda duniawi maka dia tidak mencium bau surga di hari Kiamat” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)

عن كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ t قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ r يَقُولُ : مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ (رواه الترمذي)

Dari Ka’ab bin Malik t berkata: Saya mendengar Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menandingi para ulama dan untuk mendebat orang-orang bodoh serta memalingkan pandangan manusia kepadanya, Allah akan memasukkannya ke neraka” (HR.Tirmidzi)

Dan hendaknya senantiasa kita menjadikan akhirat sebagai sasaran dan tujuan dalam setiap amalan kita, renungkanlah hadits berikut ini:

]مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ [

Artinya: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya maka Allah akan menjadikan urusannya kacau dan kefakiran senantiasa berada di kedua matanya serta dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai niat/tujuannya maka Allah akan mengumpulkan baginya urusannya dan Allah menjadikan kekayaan pada hatinya serta dunia akan datang kepadanya dengan tunduk dan menyerahkan diri” (HR. IBNU MAJAH)

- و الله الموفق -

TAKHRIJ HADITS

/ رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِيْنَ أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَةَ الْبُخَارِيُّ وَ أبُو الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمٍ الْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ فيِ صَحِيْحَيْهِمَا الَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ

Hadits ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dikeluarkan oleh 2 Imam Ahli Hadits yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim dan cukuplah keduanya sebagai petunjuk dan dalil akan keshohihan hadits ini. Perkataan Imam Nawawi bahwa kedua kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab hadits yang paling shohih, hal ini telah disepakati oleh ulama kita sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Ash-Sholah. Adapun perkataan Imam Syafi’i bahwa : “Saya tidak mengetahui kitab ilmu yang paling benar di dunia ini melebihi Kitab Al-Muwaththo”, itu beliau ucapkan sebelum ditulisnya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Dan hadits ini ditakhrij oleh banyak Imam hadits kecuali Imam Malik. Dan Ibnu Hajar mengatakan : “Telah keliru orang yang menyangka hadits ini ditakhrij pula oleh Imam Malik “.

Diantara Imam yang mengeluarkan hadits ini :

1. Imam Bukhari di 7 tempat dalam Kitab Shahihnya yaitu:

- Kitab Bad’il Wahyi,Bab I hadits no.1

- Kitab Al-Iman,Bab 41 hadits no.54

- Kitab Al-’Itq,Bab 6 hadits no.2529

- Kitab Manaqib Al-Anshar,Bab 45 hadits no. 3898

- Kitab An-Nikah,Bab 5 hadits no. 5070

- Kitab Al Aiman wa An-Nudzur,Bab 23 hadits no.6689

- Kitab Al Hiyal,Bab I hadits no.6953

2. Imam Muslim di Shahihnya,Kitab Al-Jihad Bab 18 hadits no.4904

3. Imam Abu Dawud di As-Sunan, Kitab Ath-Tholaq Bab 11 hadits no.2201

4. Imam An-Nasa’i di 3 tempat pada kitab Sunan beliau yaitu :

- Kitab Ath-Thoharah,Bab 60 hadits no.75

- Kitab Ath-Tholaq.Bab 24 hadits no. 3437

- Kitab Al-Aiman wa An-Nudzur ,Bab 19 hadits no.3803

5. Imam At-Tirmidzi di As-Sunan,Kitab Fadhoil Jihad Bab 16 hadits no.1647

6. Imam Ibnu Majah di As-Sunan,Kitab Az-Zuhud Bab 26 hadits no. 4227

7. Imam Ahmad di Musnad (1:25,43)

8. Imam Ad-Daruquthni dalam As-Sunan , Kitab Ath-Thoharah, bab An-Niyyah

(1:33:128)

9. Imam Al-Humaidi dalam musnadnya (1:28)

10. Imam Abu Dawud Ath-Thoyalisi dalam musnadnya (hal.9)

11. Imam Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’any Al-Atsaar (3:96:4650)

12. Al Imam Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa, Kitab Ath-Thoharah Bab 24 hadits no.64

13. Al-Imam Ibnu Hibban dalam Shohihnya ,lihat Al-Ihsan (1/304)

14. Al Hafizh Al Iraqi dalam Taqribul Masanid,lihat Tharhu At-Tatsrib (2:2 )

15. Al-Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al Kubro(1/41:298/2:14/4:112,235/5:39/6:331/7:341)

Lihat Fathul Bari (1:13) dan Abu Abdillah adalah Kunniyah dari banyak Imam di antaranya Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad dan Bukhari, namun yang dimaksud di sini adalah Imam Bukhari. Wallahu A’lam.

Lihat: Jami’ Al Ulum wa Al Hikam(1:61)

Lihat: Al Minhaj (13:55)

Nailul Authar (1:168)

ibid (1:171)

Lihat: Al Minhaj Syarhu Nawawi (13:55), Syarhul Arbain oleh Ibnu Daqiq (hal 27),) dan Jamiul Ulum wal Hikam (1:61)

Lihat: Tharhu At Tatsrib (2:4)

Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam (1:60) dan Fathul Bari (1:14)

Ibnu Hajar رحمه الله menuturkan : “Setelah saya mempelajari jalan- jalan periwayatan hadits ini sejak saya mempelajari hadits hingga sekarang ini saya belum mampu menyempurnakan hingga 100 orang dan saya belum menemukan jalan periwayatannya sebanyak itu (yaitu sampai 250 atau 700 orang sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama-pen)” Fathul Bari (

Syarhu Muslim Lin Nawawi (13:56)

Lihat Tadribur Rowi (2:928) dan An Nukat ‘Alan Nuzhah (hal. 209)

Lihat: Syarh Ibn Daqiq Al ‘Ied

Jamiul Ulum wal Hikam (1:75)

Fathul Bari (1:13)

Lihat: Ath Thabaqaat Al Kubro (2:11) dan At Ta’yiin Fii Syarhi Al Arba’in (hal 26)

Sariyyah adalah bagian dari pasukan yang diutus secara rahasia untuk memata-matai pasukan musuh yang jumlahnya sekitar 5-400 orang dan pasukan tsb tidak diikuti oleh Rosulullah r (Lihat:Al Qamus Al Muhith 4:494, An Nihayah 2:363 dan Al Mishbah Al Munir hal.275)

Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak (3:87 no. 4480) dan Muhammad bin Sa’ad dalam Ath Thabaqat Al Kubro (3:281)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlihi (2:947 no. 1810)

Lihat: Ta’liqaat ‘alaa Al Arba’in An Nawawiyah oleh Samahatu Asy Syaikh Al Utsaimin (hal.1)

HR. Bukhari (6923)

HR. Muslim dalam Shohihnya, Kitabul Fitan (no.2882)

Lihat : Jamiul Ulum wal Hikam (1:71)

Hilyatul Awliyaa (3:70)

ِDiriwayatkan oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Jami’ Li Akhlaq Ar Rowi (1:317)

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyah Al Awliya (2:199)

(H.R.Abu Dawud dan selainnya dengan sanad yang shohih, lihat Irwaul Ghalil 5/33)

(H.R.Ahmad dengan sanad hasan, lihat Irwaul Gholil 5/33)

Lihat: Al Waabil Ash Shoyyib (hal.96)

Lihat : Quut Al Qalb oleh Abu Tholib Al Makki (1/47) dan Al Bahru Ar Roiq oleh Syaikh Ahmad Farid (hal. 131)

Diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunannya, Kitab Al Muqaddimah, Bab Karahiyah Al Akhdz Bir Ra’yi (204)

Lihat:Tafsir Al Baghawi 8:172

lihat tafsiran QS.2:284 dan nantikan penjelasannya secara detail insya Allah pada pembahasan hadits arbain no.37

Lihat sunan At Tirmidzi (2382)

Lihat ‘Ulum Al-Hadits-Ibnu Ash-Sholah( hal.19), An-Nukat ‘ala Kitab Ibnu Ash-Sholah (1:278,279) dan Tadribur Rowi (1:96)

Fathul Bari (1:14)