-->

Selamat Datang Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Terimakasih atas Kunjungan anda

Selamat Datang Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Terimakasih atas Kunjungan anda

Senin, 27 Desember 2010

Hukum Mencium Al-Qur'an

Hukum Mencium Mushaf Al-Qur’an

Sebagian besar kaum muslimin dan muslimah sering kita lihat mencium mushaf Al-Qur’an dengan berbagai alasan, baik ketika selesai mengaji ataupun tanpa sengaja menjatuhkannya lalu dengan cepat diambilnya mushaf Al-Qur’an tersebut kemudian di ciumnya. Ketika kita bertanya mengapa antum melakukan perbuatan seperti itu? dengan yakin beliau menjawab bahwa itu adalah untuk memuliakan Al-Qur’an.Benarkah demikian ?Pada kesempatan ini kami mengajak agar kita mencoba menyadari bahwa apakah memang hal ini telah diajarkan dalam Islam atau diperbolehkan dalam Islam? InsyaAlloh uraian artikel yang berupa fatwa ulama ini akan memberikan arahan yang jelas sehingga kita melakukan hal-hal yang bermanfaat dan mendapatkan ridho Alloh Ta’ala.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya:  Apa hukumnya mencium mushaf Al-Qur’an yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin ?
Beliau menjawab:
Kami yakin perbuatan seperti ini masuk dalam keumuman hadits-hadits tentang bid’ah. Diantaranya hadits yang sangat terkenal yang artinya: “Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara (ibadah) yang diada-adakan, sebab semua ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada contohnya dari Rasul) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat’‘  (Shahih Targhib wa Tarhib 1/92/34)
Dalam hadits lain disebutkan, yang artinya: “Dan semua yang sesat tempatnya di neraka’‘ (Shalat Tarawih hal. 75)
Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al-Qur’an. Betul …!, kami sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap Al-Qur’an. Tapi yang menjadi masalah: Apakah penghormatan terhadap Al-Qur’an dengan cara seperti itu dibenarkan .?Seandainya mencium mushaf itu baik dan benar, tentu sudah dilakukan oleh orang yang paling tahu tentang kebaikan dan kebenaran, yaitu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam? dan para sahabat, sebagaimana kaidah yang dipegang oleh para ulama terdahulu yang sholeh. “Seandainya suatu perkara itu baik, niscaya mereka (para sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah lebih dulu melakukannya” Itulah patokan kami.Pandangan berikutnya adalah, ”Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh atau dilarang?” Ada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang sangat pantas untuk kita renungkan. Dari hadits ini insyaAlloh kita bisa tahu betapa kaum muslimin hari ini sangat jauh berbeda dengan para pendahulu mereka dalam hal memahami agama dan dalam menyikapi perkara-perkara ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Hadits tersebut diriwayatkan oleh ‘Abis bin Rabi’ah, dia berkata: ”Aku melihat Umar bin Kahthtab Radhiyallahu anhu mencium Hajar Aswad dan berkata, yang artinya: “Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat dan tidak bisa memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium engkau, maka aku tidak akan menciummu”  (ShahihTarghib wa Tarhib 1/94/41)
Disebutkan dalam hadits lain bahwa, yang artinya: “Hajar Aswad adalah batu dari surga’‘ (Shahihul Jaami’ No.3174)
Yang jadi masalah … kenapa Umar Radhiyallahu anhu mencium Hajar Aswad ? Apakah karena Hajar Aswad tersebut berasal dari tempat yang mulia yaitu surga ? Ternyata tidak, Umar mencium batu tersebut bukan karena kemuliaan batu tersebut dan bukan karena menghormatinya tetapi Umar mencium karena dia mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihatlah …. betapa Umar Radhiyallahu ‘anhu lebih mendahulukan dalil dengan mencontoh kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada mendahulukan akalnya. Dan demikian sifat dan sikap semua para sahabat, -pent-).
Lalu sekarang … bolehkan kita mencium mushaf Al-Qur’an dengan alasan untuk menghormati dan memuliakan-Nya sementara tidak ada dalil bahwa Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mencium mushaf ? Kalau cara beragama kita mengikuti para sahabat, tentu kita tidak akan mau mencium mushaf itu karena perbuatan tersebut tidak ada dalilnya (tidak ada contoh dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tapi kalau cara beragama kita mengikuti selera dan akal kita serta hawa nafsu, maka kita akan berani melakukan apa saja yang penting masuk akal.
Contoh kedua adalah ketika Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma bersepakat untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Lalu mereka berdua menyerahkan tugas ini kepada Zaid bin Tsabit. Bagaimana komentar dan sikap Zaid ? Dia berkata, ”Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Begitulah para sahabat semuanya selalu melihat contoh dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua urusan agama mereka. Sayang sekali semangat seperti ini tidak dimiliki oleh sebagian besar kaum muslimin hari ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling berhak dan paling tahu bagaimana cara memuliakan Al-Qur’an. Tapi beliau tak pernah mencium Al-Qur’an. Sebagian orang jahil  mengatakan, ”Kenapa mencium mushaf tidak boleh dengan alasan tidak ada contoh dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Kalau begitu kita tidak boleh naik mobil, naik pesawat, dan lain-lain,
karena tidak ada contohnya dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam…?”
Ketahuilah bahwa bid’ah yang sesat (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) hanya ada dalam masalah agama. Adapun masalah dunia, hukum asalnya semuanya mubah (boleh), kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka seorang yang naik pesawat dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Baitullah adalah boleh, walaupun naik pesawat untuk pergi haji itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang tidak boleh adalah naik pesawat untuk pergi haji ke Negeri Barat. Ini jelas bid’ah, karena haji itu masalah agama yang harus mencontoh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam Shallallahu ‘alahi wa sallam di dalam pelaksanaannya, yaitu dilaksanakan di Makkah dan tidak boleh di tempat lain.
Maka perkara ibadah adalah semua perkara yang dilakukan dengan tujuan ber-taqarrub (mendekatkan diri ) kepada Allah dan kita tidak boleh ber-taqarrub kepada Allah kecuali dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Alloh Ta’ala.
Untuk memahami dan menguatkan hadits, ”Setiap bid’ah adalah sesat”, ada sebuah kaidah yang datang dari para ulama. Yang artinya: “Jika bid’ah sudah merajalela, maka sunnah pasti akan mati”Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dan merasakan kebenaran kaidah tersebut, katika bid’ah-bid’ah sudah banyak dilakukan orang dalam berbagai macam keadaan.
Orang-orang yang berilmu dan mempunyai banyak keutamaan tidak pernah mencium mushaf ketika mereka mengambilnya untuk dibaca, padahal mereka adalah orang-orang yang selalu mengamalkan isi Al-Qur’an. Sementara orang-orang awam yang kerjanya mencium mushaf, hampir semua dari mereka adalah orang-orang yang perilakunya jauh dan menyimpang dari isi Al-Qur’an.
Demikianlah orang-orang yang melaksanakan sunnah, dia akan jauh dari bid’ah. Sebaliknya orang-orang yang melakukan bid’ah, dia pasti akan jauh dari sunnah. Maka tepat sekali kaidah di atas: ”Jika bid’ah sudah merajalela, sunnah pasti akan mati”.
Ada contoh lain lagi. Di beberapa tempat, banyak orang yang sengaja berdiri ketika mereka mendengar adzan.Padahal di antara mereka ini adalah orang-orang fasik yang selalu berbuat maksiat.
Ketika mereka ditanya: ”Kenapa Anda berdiri ?” Jawab mereka: ”Untuk mengagungkan Alloh”. Begitulah cara mereka mengagungkan Alloh dengan cara yang salah, kemudian setelah itu mereka tidak pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah tetapi malah kembali bermain kartu atau catur, dan mereka merasa telah mengagungkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Dari mana ceritanya sampai mereka berbuat demikian? Jawabannya adalah dari sebuah hadits plasu, bahkan hadits yang tidak ada asal-usulnya, yang artinya: “Jika kalian mendengar adzan, maka berdirilah”  (Adh-DhaifahNo. 711)
Sebetulnya hadits tersebut ada asalnya, tetapi isinya telah diubah oleh sebagian rawi (periwayat) pembohong dan rawi-rawi yang lemah hapalannya.  Kata ”berdirilah” dalam hadits tersebut sebenarnya aslinya adalah ”ucapkanlah”.
Jadi yang sebenarnya hadits tersebut berbunyi, yang artinya: “Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah (seperti lafadz adzan tersebut)’‘  (Shahih Muslim No. 184)
Demikialah, syetan menjadikan bid’ah itu indah dan baik di mata manusia. Dengan melakukan bid’ah-bid’ah tersebut,  orang-orang merasa telah menjadi seorang mukmin yang mengagungkan syiar-syiar Allah, dengan cara mencium mushaf atau berdiri ketika mendengar adzan.
Akan tetapi kenyataannya mereka adalah orang-orang yang pengamalannya jauh dari Al-Qur’an. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang meninggalkan shalat. Kalau toh di antara mereka ada yang shalat, mereka masih makan barang haram, makan hasil riba atau memberi nafkah (keluarganya) dari hasil riba, atau menjadi perantara riba, dan perbuatan lain yang berbau maksiat.
Oleh karena itu tidak boleh tidak, kita harus membatasi diri kita dalam ketaatan dan peribadatan kepada Allah hanya dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah. Jangan kita tambah-tambah syariat Allah tersebut, walaupun satu huruf. Sebab Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, yang artinya: “Apapun yang Alloh perintahkan kepada kalian, semuanya telah aku sampaikan. Dan apapun yang Alloh larang, semuanya telah aku sampaikan”  (Ash-Shahihah No. 1803)
Coba tanyakan kepada orang-orang yang suka mencium mushaf dan suka berdiri ketika mendengar adzan: ”Apakah anda lakukan semua ini dalam rangka beribadah untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Alloh)?” Kalau mereka bilang : ”Ya” Maka katakan kepada mereka : Tunjukkan kepada kami dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam!” Kalau mereka tidak bisa menunjukkan dalil, maka katakan bahwa perbuatan itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua sesat pasti di neraka.
Mungkin diantara kita ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah masalah yang sangat ringan dan sepele. Pantaskah masalah sekecil ini dikatakan sesat dan pelakunya akan masuk neraka ?”
Kalimat yang berbau syubhat ini telah dibantah oleh Imam Syatibi: ”Sekecil apapun bid’ah itu, dia tetap sesat. Jangan kita melihat bid’ah itu hanya wujud bid’ahnya saja (seperti mencium mushaf, berdiri ketika mendengar adzan, ushollii, adzan untuk mayit, dan seterusnya -pent-), tetapi mari kita lihat, mau dikemanakan perbuatan-perbuatan bid’ah yang menurut kita kecil dan sepele itu?
Ternyata perbuatan ini akan dimassukkan ke dalam sesuatu yang besar, agung, mulia dan sempurna yaitu ajaran Islam yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seolah-olah ajaran Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu belum begitu baik dan belum begitu sempurna sehingga masih perlu diperbaiki dan disempurnakan dengan bid’ah-bid’ah tersebut. Dari sini sangat pantas kalau bid’ah itu dinilai sebagai perbuatan sesat.
(Sumber Rujukan: Disarikan dari kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina Annufasirral Qur’anal Karim, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani)
sumber: http://buletinislam.wordpress.com/2007/06/22/hukum-mencium-mushaf-al-quran/
tambahan untuk akses Al-Qur'an online di: http://www.dudung.net/quran-online/indonesia/2/280

Kamis, 28 Oktober 2010

Langit dan Bumi juga bertasbih

 
[17:44] Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.


Alam dengan isinya sesungguhnya memiliki kehidupannya sendiri. Harus disadari, kita dan alam memiliki hak yang sama untuk mengabdi kepada Allah, tentu saja dengan caranya masing-masing. Sejatinya, sesama makhluk Allah, kita harus dapat mengharmonisasikan kehidupan kita dengan kehidupan alam. Apabila kita tidak memiliki kemampuan dalam mengharmonisasikan kehidupan kita dengan alam, yang terjadi adalah disharmonisasi, ketegangan, benturan dan saling menghancurkan.

Dalam konteks artikel ini, salah satu yang perlu kita perhatikan adalah apa yang disebut Al-Qur’an dengan “tasbih bumi”. Ayat yang dikutip diawal tulisan ini cukup untuk menjadi dalil bahwa bumi (juga makhluk Allah lainnya) bertasbih kepada Allah. mereka menjauhkan Allah dari sifat-sifat yang tak pantas dipikulnya. Mereka sucikan Allah dengan cara yang sama sekali tidak diketahui manusia.

Dari sudut bahasa, tasbih berasal dari kata sabbaha-yusabbihu-tasbihan. Di dalam kamus, arti dasar dari tasbih (al-sabh) adalah menjauh dari tempat asal. Al-sabh atau as-sibahah juga diterjemahkan dengan berenang. Ada juga yang langsung menterjemahkan tasbih dengan mensucikan Allah. Al-Sabh bisa juga berarti kosong, hampa. Agaknya kata tasbih memiliki kedekatan arti dengan tanzih dan taqdis (quddus).

Dari arti inilah tasbih diartikan sebagai upaya menjauhkan Allah dari sifat-sifat yang tidak pantas baginya. Orang yang bertasbih adalah orang yang mensucikan Allah dari segala macam sifat dan perbuatan yang tidak layak dilekatkan kepada Allah. Kata subhana Allah yang sering kita lafalkan setiap kali selesai shalat berarti maha suci Allah.

Seorang ilmuwan muslim yang bernama Zaghlul An-Najjar menulis buku yang berjudul, Shuarun min Tasbih al-Kainaat Lillah. Buku ini terbit di Mesir pada tahun 2003. Pada tahun 2008, penerbit Al-Kautsar menterjemahkan buku tersebut dengan judul, Ketika Alam Bertasbih.

Adalah menarik ketika An-Najjar mengatakan, “Al-Qur’an menegaskan bahwa setiap langit dan bumi di dunia dapat merasa, berbicara, menangis dan merasa sakit dan pedih. Ketika hari kiamat terjadi, masing-masing akan membeberkan dan menceritakan semua itu.

Tentang masalah ini, Allah SWt berfirman sebagai komentar terhadap perbuatan maksiat yang dilakukan oleh Fir’aun dan kaumnya, “maka langit dan bumi tidak akan menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh. (Zaghlul An-Najjar: hal. 129).

Ada riwayat dari Nabi yang menjelaskan makna surah Al-Zalzalah ayat 3 yang mengatakan, Pada hari itu bumi menceritakan beritanya. Lalu beliau bertanya, tahukah kalian apa beritanya ? “ mereka menjawab, “Allah dan Rasulnya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Sesungguhnya beritanya bahwa ia (bumi) bersaksi atas setiap hamba atau umat yang berada di atasnya. Ia berkata, Ia melakukan ini pada hari ini, begini dan begitu…seterusnya. Inilah beritanya, (HR. At-Tirmizi hadis 2429 dan 353).

Adalah keliru jika kita menganggap bumi sebagai benda mati yang sama sekali tidak memberi respon dan reaksi terhadap apa yang dilakukan manusia di muka bumi ini. Jelas bahwa bumi tempat kita berpijak selalu bertasbih dan bertahmid kepada Allah.

Bumi selalu mensucikan Allah dan memujinya dengan cara yang tidak pernah kita ketahui. Bisa dibayangkan jika manusia yang hidup di atas muka bumi ini tidak bertasbih kepada Allah. Betapa tersiksanya bumi menampung manusia-manusia kufur yang melupakan Allah.

Selasa, 26 Oktober 2010

Ukuran Sukses

Kata sukses tentunya sudah sering kita dengar. Sukses merupakan keberhasilan seseorang dalam mencapai sebuah tujuan, dan pencapaian tersebut, diraih melalui berbagai proses dan tahapan. Hal kemudian yang ingin saya tanyakan adalah, apa yang menjadi tolok ukur sehingga seseorang dikatakan sukses? Kalau kita amati, kesuksesan seringkali dikaitkan dengan kemampuan finansial dan kepemilikan benda. Sehingga tidak aneh kalau ada orang yang terlihat “kaya”, maka dia akan dianggap sebagai orang sukses. Secara alami pula, jika seseorang tidak terlihat “kaya” maka dia belum dianggap sebagai orang sukses. Ya, paling tidak dikategorikan sebagai “biasa-biasa” saja.
Melihat kesuksesan berdasarkan pencapaian finansial ataupun kepemilikan benda saya rasa sah-sah saja. Namun menitikberatkan kesuksesan hanya kepada kedua hal tersebut, menurut saya adalah pemikiran yang menyempit. Kenapa? Karena pemikiran seperti ini akan menghalangi kita untuk menggapai kesuksesan yang hakiki.

Sukses yang hakiki adalah keberhasilan kita, sebagai manusia, untuk bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Apalah arti sebuah “kesuksesan” harta dan benda, jika pada akhirnya sukses tersebut malah tidak bisa memberikan manfaat kepada orang lain? Yang ada mungkin menjadikan kita individu-individu yang sombong, pelit, dan gemar menimbun-nimbun harta.
Kalau kesuksesan dilihat sebagai memberikan manfaat kepada orang lain, maka pada dasarnya semua orang punya kesempatan untuk menjadi sukses. Untungnya lagi, hal tersebut bisa dilakukan pada semua level masyarakat. Anda tidak perlu kaya untuk bisa dibilang sukses. Anda tidak perlu punya jabatan tinggi untuk dibilang sukses. Anda tidak perlu terkenal untuk dibilang sukses.
Yang anda perlukan adalah melatih diri untuk bisa bermanfaat bagi orang lain, sesuai dengan potensi dan kemampuan yang telah Tuhan berikan kepada anda.
Jika anda seorang guru, maka ajarkanlah murid-murid anda dengan sebaik-baiknya ilmu yang anda miliki.  Jika anda seorang arsitek, maka buatlah rancangan yang mampu memberikan kepuasan dan segala kebaikan bagi para penghuni rumah. Jika anda seorang atasan, maka pimpinlah bawahan anda dengan penuh keadilan. Jika anda seorang wirausahawan, maka berbisnislah dengan penuh kejujuran. Namun jika anda merasa belum bisa apa-apa, maka berikanlah senyum anda. Sesungguhnya senyum adalah manfaat termudah yang bisa kita berikan kepada orang lain :)
Kalau kesuksesan lebih di titikberatkan kepada pencapaian finansial dan kepemilikan benda, maka hal ini akan mempersempit peluang kita untuk bisa sukses karena tidak semua orang bisa jadi orang kaya. Namun jika kesuksesan dilihat sebagai memberikan manfaat kepada orang lain, maka setiap orang bisa punya peluang untuk sukses terlepas dari status, kondisi, ataupun keadaannya.
http://adityafajar.com/Dengan mengolah apa yang telah Tuhan berikan kepada kita sehingga bermanfaat bagi orang lain, maka kita sudah menjadi orang sukses . Karena sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang bisa memberikan manfaat bagi sesamanya. Karena ternyata derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauh mana dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain ” (HR. Bukhari).ilah kesuksesan yang hakiki.Semoga kita termasuk orang yang bisa meraih kesuksesan tidak hanya didunia tapi juga di akhirat sebagai mana do'a yang sering kita baca setiap habis shalat"
"Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina 'adzabannar"
("Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".) QS. Al Baqoroh 201.Amien....

Minggu, 24 Oktober 2010

Apakah Kita Sudah Bertakwa?

Segala puji bagi Allah, Dzat yang paling berhak untuk kita takuti dan tempat kita memohon ampunan. Salawat dan keselamatan semoga terus tercurah kepada teladan terbaik, seorang hamba yang telah diampuni dosa-dosanya namun senantiasa beristighfar dan bertaubat kepada-Nya minimal tujuh puluh kali setiap harinya, semoga keselamatan juga terlimpah kepada para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Taqwa merupakan sebab keberuntungan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah kalian kepada Allah, mudah-mudahan kalian beruntung.” (QS. al-Baqarah: 189 lihat juga QS. Ali Imran: 130 dan 200). Ini artinya, barangsiapa yang tidak bertaqwa kepada Allah maka dia tidak menempuh jalan yang akan mengantarkan dirinya menuju keberuntungan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 88).
Hal ini -keberuntungan bagi orang yang bertaqwa- adalah sesuatu yang sangat wajar dan mudah dipahami, karena orang yang bertaqwa akan mendapatkan pertolongan dan pembelaan dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang suka berbuat ihsan/kebaikan.” (QS. an-Nahl: 128). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 194). Yang dimaksud dengan kebersamaan Allah di sini adalah pertolongan dan pembelaan serta taufik dari-Nya, sebuah kebersamaan yang khusus bagi para rasul dan pengikut setia mereka (lihat Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 38, lihat juga Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 90)
Orang paling faqih/paham agama dalam pandangan ulama salaf adalah orang yang paling bertaqwa. Suatu ketika, Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah ditanya mengenai siapakah orang yang paling faqih di antara penduduk Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertaqwa di antara mereka.” Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayim dalam Miftah Dar as-Sa’adah (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah oleh Abul Harits at-Ta’muri, hal. 44). Lalu apakah pengertian taqwa? Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, “Taqwa adalah kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah disertai rasa takut akan siksaan dari Allah.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/222])
Namun, mewujudkan ketaqwaan tak semudah mengucapkannya. Karena ia membutuhkan ketekunan dan kesabaran serta ketelitian dalam mengoreksi diri dan berjuang untuk memperbaikinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Tidaklah seseorang itu bisa menjadi orang yang bertaqwa sampai dia menjadi orang yang sangat perhitungan terhadap dirinya sendiri melebihi ketelitian seorang pengusaha terhadap rekan usahanya, dan juga sampai dia bisa mengetahui darimanakah pakaiannya (halal atau haram), tempat makan dan minumnya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, oleh Syaikh Abdul Aziz as-Sad-han hafizhahullah, hal. 117).
Oleh sebab itu juga, tidak semestinya seorang larut dengan pujian yang dialamatkan orang lain kepada dirinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Orang yang berakal adalah yang mengenali jati dirinya sendiri dan tidak tertipu oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk -kekurangan- dirinya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 118). Perhatikanlah apa yang diucapkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu tatkala mendengar orang-orang memuji-muji dirinya. Beliau justru berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri, dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka, maka ya Allah jadikanlah aku lebih baik daripada apa yang mereka sangka, dan jangan Engkau hukum aku gara-gara ucapan mereka, dan dengan rahmat-Mu maka ampunilah keburukan yang tidak mereka ketahui -pada diriku-.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 119).
Salah satu cara untuk mengoreksi diri adalah dengan mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan yang menimpa orang lain, yaitu dengan mencari tahu sebab-sebab yang mengantarkan mereka terjatuh ke dalam kesalahan tersebut (lihat Ma’alim fi Thariq Thalab al-’Ilm, hal. 120). Sehingga, orang yang berbahagia adalah yang bisa memetik pelajaran dari kejadian yang menimpa orang lain, bukan justru dia sendiri yang menjadi bahan pelajaran bagi orang-orang di sekelilingnya akibat kekeliruan yang dilakukannya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya orang yang berbahagia itu adalah yang bisa memetik nasehat dari kejadian yang menimpa orang lain.” (al-Fawa’id, hal. 140)
Salah seorang pembesar tabi’in serta tokoh ahli ibadah bernama Mutharrif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir rahimahullah berdoa kepada Allah, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai ada orang lain yang lebih berbahagia dengan ilmu yang Kau ajarkan kepadaku daripada diriku sendiri, dan aku berlindung kepada-Mu agar jangan sampai aku menjadi bahan pelajaran bagi orang selain diriku.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengomentari doa ini, “Ini adalah termasuk doa yang paling bagus.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amalu oleh Syaikh Prof. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahullah, hal. 20)
Dari sini, kita bisa mengetahui betapa besar peran muhasabah/introspeksi diri dalam mewujudkan ketaqwaan di dalam diri kita. Tidak mengherankan jika Allah ta’ala menyebutkan kedua perkara ini secara beriringan untuk mengingatkan kita tentang keterkaitan yang erat antara keduanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah dia persiapkan untuk menyambut hari esok (hari kiamat). Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap segala amalan yang kalian kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18)
Sementara, kita semua tahu bahwasanya pada hari kiamat kelak banyaknya harta dan keturunan tidak akan memberikan manfaat sama sekali, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat dari gelapnya syubhat dan kotornya syahwat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada  hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89). Maka ketaqwaan yang hakiki adalah ketaqwaan yang berakar dari dalam lubuk hati, bukan sekedar ucapan yang indah dan penampilan yang mengagumkan. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ketaqwaan yang hakiki adalah ketaqwaan dari dalam hati bukan semata-mata ketaqwaan dengan anggota badan.” (al-Fawa’id, hal. 136). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan perintah-perintah Allah, sesungguhnya hal itu lahir dari ketaqwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun darahnya (kurban), akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketaqwaan dari kalian.” (QS. al-Hajj: 37).
Pertanyaan paling mendasar bagi kita sekarang adalah, “Apakah kita masih memiliki hati?”. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Carilah hatimu pada tiga tempat; ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an, pada saat berada di majelis-majelis dzikir/ilmu, dan saat-saat bersendirian. Apabila kamu tidak berhasil menemukannya pada tempat-tempat ini, maka mohonlah kepada Allah untuk mengaruniakan hati kepadamu, karena sesungguhnya kamu sudah tidak memiliki hati -yang hidup- lagi.” (al-Fawa’id, hal. 143). Allahul musta’aan…
Sumber: http://muslim.or.id/

Aku Ingin Jadi Salah Seorang Penduduknya

 Segala puji hanya bagi-MU ya Allah, Engkaulah yang mengatur hidup dan kehidupan. Engkaulah yang menguasai seluruh kekuasaan, Engkau anugerahkan kekuasaan bagi yang Engkau kehendaki. Engkau cabut hak berkuasa dari siapa yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan siapa saja yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapapun yang engkau kehendaki, di tangan-MU segala kebaikan, Engkaulah yang berkuasa atas segala sesuatu.
Mari kita coba cermati diri dengan seksama, kemudian bandingkan perbuatan baik dan buruk yang kita lakukan. Mana yang lebih dominan? kebaikan ataukah keburukan?! lebih cepat mana kebaikan ataukah keburukan yang kita lakukan?!. Lebih berat mana kebaikan atau keburukan yang kita pikul?!. Ketahuilah semua itu ada balasannya. sungguh kita tidak dapat menghindar, dari perhitungan Allah di padang mahsyar nanti.
Sudah seharusnya kita sadari, hakekat penciptaan kita sebagai hamba. Ketika kita menyadari hakekat penciptaan, selayaknya kita melakukan apa yang telah ditetapkan, yaitu beribadah. Namun apa yang terjadi? Ketika datang seruan-seruan dari Allah untuk taat dalam ibadah, untuk jihad, untuk neramar ma’ruf nahi munkar, kita lemah sekali merespon seruan itu, seperti apakah kita ini?!
Bila kita adalah seorang mu’min,  tentu kita merasa geram, sedih, pilu sekali, kenapa kita begitu lambat, begitu berat, bahkan enggan menyambut seruan-NYA dengan segera?. Apakah keadaan ini, kerena jiwa-jiwa kita telah terperangkap dan terbelenggu dengan dunia? Ataukah karena hati-hati kita keras seperti batu cadas? ataukah karena gelimang dosa yang kita perbuat?, ataukah karena rasa rindu kita terhadap surga yang dijanjikan Allah tidak kita pupuk?, atau karena rasa takut dan ngeri kita terhadap siksa neraka sudah hilang? Hanya kita yang dapat menjawabnya. Karena itu, ingatlah apa yang Allah katakan“Ya Hasrota ‘ala ma farrothtu fi janbillah” alangkah meruginya kita kelak di sisi Allah akan apa-apa yang telah kita terlantarkan dari kebaikan-kebaikan.
Ketika kita sudah mengetahui diri kita masing-masing, apakah hati-hati kita belum berubah, untuk lebih khusyu’, khosyah, roja, dan cinta kepada Allah dengan segala apa yang ada di sisi- Nya! apakah kesadaran diri kita untuk menjadi hamba Ar-Rahman belum juga berubah? Apakah jasad ini belum juga mau melaksanakan tugas untuk  menyambut seruan Allah dan rasulnya dengan “sam’an wa thoatan”?. Kalau semua jawabannya belum , sungguh diri kita ini tak pantas memohon surga Allah.. Ya Allah ampuni kenistaan hamba-MU ini.
Bayangkan, ketika ajal datang menjemput dan kita masih belum….belum…. dan belum berubah, lalu apa yang akan kita ucapkan nanti dihadapan Allah SWT, di saat kita melihat azab yang sangat dasyat kepedihannya, apa yang akan kita katakan saudaraku…..! sungguh Allah telah sampaikan dalam Qur’an bagi orang-orang yang merugi akan berkata “andaikan aku dapat kembali sejenak saja maka aku akan menjadi orang baik-baik”(QS. 39:58)
Bila bumi telah kembali di genggam-NYA, langit terlipat di sisi-Nya, di hamparkan bumi mahsyar, di rendahkan matahari, di bangkitkan manusia dalam berbagai bentuk, panas mahsyar membara, membakar siapa saja yang bergelimang dosa, berjuta tahun berada dalam hamparan derita, di sinilah berlaku kalam Allah “dan di balaslah setiap jiwa sesuai amalnya dan Allah maha tahu apa yang manusia kerjakan saat di dunia”(QS. 39 :70)
Tidakkah kita merindukan ridho-Nya? Rindu Surga-Nya? Berharap limpahan rahmat-Nya? Butuh ampunan-Nya?. Bila ini keinginan kita maka kuatkan dan hidupkan istijabah kita terhadap seruan Allah dan Rasul-Nya.
Perhatikan cermin di depan kita, ketika Rasul saw. berada di tengah-tengah pasukan Badr, beliau gelorakan panggilan surga, seraya bersabda ”Bangkitlah menuju sorga yang luasnya meliputi seluruh langit dan bumi”seorang shahabat, kemudian berdecak ”Bakh-bakh” Rasul bertanya, wahai Umair apa yang menyebabkanmu berdecak demikian, Umair menjawab” la syaia Ya Rasul, Illa rojaan an akuna min ahliha (tidak sesuatupun ya Rasul, kecuali aku berharap untuk menjadi salah satu dari penduduknya). Kemudian Rasul saw. bersabda : anta min ahliha (kamu adalah salah seorang dari penduduknya.”)
Kala Umair ra. mendengar doa Rasul saw. tersebut, maka ia keluarkan beberapa biji korma dari kantong bajunya, kemudian memakannya. Dan di sela-sela ia memakan satu biji korma, sebelum habis Ia mengatakan ” Jika surga telah nampak jelas di depan mata dan aku masih sibuk menyelesaikan makan beberapa biji kurma ini, sungguh kehidupanku di dunia ini terlalu lama. Lalu diletakkannya kurma itu, kemudian ia lari menuju syahadah. Allahu Akbar!
Sumber: http://www.dakwatuna.com/

Jumat, 24 September 2010

Fadilah puasa 6hari di bulan Syawal

Dalil-dalil tentang Puasa Syawal,
Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup.” (Hadits Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164)
Hukum Puasa Syawal
Hukumnya adalah sunnah: “Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.” (Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/389)
Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah.” (Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/391)
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab)
Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]
2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan
Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.” (Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/392)
Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla (mengganti) Ramadhan ?
Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut
Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun.”
Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)
Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?
Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun(Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya)
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) : “..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)” [Thaha : 84]
Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit
Tidak disyari’atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.
Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Puasa Sunnah Bulan Syawal enam hari
Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?
Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan
Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.
Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?
Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.
Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?
Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya” dalam riwayat lain disebutkan : “kecuali puasa Ramadhan”
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari ‘Arafah, puasa ‘Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya. (Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)
Sumber : www.salafy.or.id
Hukum Seputar Puasa Syawal
Pertanyaan:
Apakah puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal harus dilakukan secara langsung setelah ‘iedul fitri atau tidak ? Apakah harus berturut turut atau tidak ?
Jawaban :
Yang demikian tidak harus dilakukan secara langsung setelah ‘ied, boleh dilakukan 2 atau 3 hari setelahnya. Demikian juga tidak harus berturut-turut, boleh dilakukan secara terpisah, yang demikian sesuai kemudahan tiap-tiap muslim dalam melakukannya. (Fatwa Lajnah Da’imah no. 3475 ,Ketua Lajnah Syaikh bin Baz)
Pertanyaan:
Istriku hamil di bulan Ramadhan. Aku juga mengeluarkan zakat untuk janinnya . Qodarullah, beberapa hari setelah ‘ied istriku melahirkan bayi kembar 2, apakah aku wajib untuk mengeluarkan zakat untuk janin yang kedua ?
Jawaban:
Tidak wajib bagimu untuk mengeluarkan zakat pada janin yang kedua yang sebelumnya engkau hanya mengeluarkan zakat untuk satu janin ( Fatwa Lajnah Da’imah no.10816, Ketua Lajnah Syaikh bin Baz)
(Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Fataawa Lajnah ad Da’imah, Syarhul Mumthi’ Ibnu Utsaimin, Fataawa wa Rasaail Ibnu Utsaimin, dan Majmu’Fataawa Syaikh Shalih Fauzan)
Bid’ah Hari Raya Ketupat di Bulan Syawal- Hari Raya Al Abrar
Di antara perkara yang diada-adakan (bid’ah) pada bulan Syawwal adalah bid’ah hari raya Al Abrar (orang-orang baik) (atau dikenal dengan hari raya Ketupat.pent.), yaitu hari kedelapan Syawwal.
Setelah orang-orang menyelesaikan puasa bulan Ramadhan dan mereka berbuka pada hari pertama bulan Syawwal -yaitu hari raya (iedul) fitri- mereka mulai berpuasa enam hari pertama dari bulan Syawwal dan pada hari kedelapan mereka membuat hari raya yang mereka namakan iedul abrar (biasanya dikenal dengan hari raya Ketupat. Pent )
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah Rahimahullah- berkata: “adapun membuat musim tertentu selain musim yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi’ul Awwal yang disebut malam maulid, atau sebagian malam bulan Rajab, tanggal 18 Dzulhijjah, Jum’at pertama bulan Rajab, atau tanggal 8 Syawwal yang orang-orang jahil menamakannya dengan hari raya Al Abrar ( hari raya Ketupat) ; maka itu semua adalah bid’ah yang tidak disunnahkan dan tidak dilakukan oleh para salaf. Wallahu Subhanahu wata’ala a’1am.
Peringatan hari raya ini biasanya dilakukan di salah satu masjid yang terkenal, para wanitapun berikhtilat (bercampur) dengan laki-laki, mereka bersalam-salaman dan mengucapkan lafadz-lafadz jahiliyyah tatkala berjabatan tangan, kemudian mereka pergi ke tempat dibuatnya sebagian makanan khusus untuk perayaan itu. (lihat : As Sunan wal mubtadi’at al muta’alliqah bil adzkar wassholawat karya Muhammad bin Abdis Salam As Syaqiriy hal. 166)
(Kitab Al Bida’ Al Hauliyyah karya : Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry. Cet. I Darul Fadhilah Riyadh, Hal. 350. Penterjemah : Muhammad Ar Rifa’i)
Hari kedelapan dari syawwal ini orang umum menamakannya sebagai Iedul Abrar (hari raya orang yang baik) yaitu orang-orang yang telah puasa enam hari syawwal. Namun hal ini adalah bid’ah. Maka hari ke delapan ini bukanlah sebagai hari raya, bukan untuk orang baik (abrar) dan bukan pula bagi orang jahat (Fujjar).
Sesungguhnya ucapan mereka (yaitu iedul abrar) mengandung konskwensi bahwa orang yang tidak puasa enam hari dari syawwal maka bukan termasuk orang baik, demikian ini adalah keliru. Karena orang yang telah menunaikan kewajibannya maka dia, tanpa diragukan adalah orang yang baik walaupun tentunya sebagian orang kebaikannya ada yang lebih sempurna dari yang lain. (Syarhul Mumti’ Karya As Syaikh Ibnu Utsaimin jilid 6 bab shaum Tathawwu’)

Kamis, 23 September 2010

Menghormati yang tua, Menyayangi yang muda....

Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Bukanlah termasuk golongan kami siapa saja yang tidak menghormati orang yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda dan mengenal hak orang ‘alim kita.” (HR Ahmad dan Hakim)

Sungguh sangat luar biasa sekali Islam memperhatikan kaidah pergaulan kemasyarakatan. Cukup unik memang, karena dari satu hadits diatas saja, kita bisa jadi “kerepotan” dalam menerapkannya.

Apakah kita sudah cukup baik dalam menghormati orang-orang yang lebih tua?
Apakah bentuk kecintaan kita sudah tepat terhadap orang-orang yang lebih muda?
Dan apakah kita sudah menunaikan hak-hak para ulama?

Orang-orang yang lebih tua tentu senang jika mereka dihargai, dihormati dan “dianggap”. Jangan meremehkan mereka, jangan mengacuhkan mereka, mintalah pertimbangan, saran ataupun pendapatnya -terlepas dari apakah nanti kita akan mempergunakannya atau tidak.

Kita juga akan merasa senang jika “adik-adik” kita menghargai dan menghormati kita. Bukan berarti gila penghormatan, sehingga maunya dihormati, orang-orang tunduk, tapi tentunya penghormatan yang baik, sesuai dengan syariat Islam.

Di hadits yang disebutkan diatas, kita juga diminta untuk menyayangi orang-orang yang lebih muda. Bentuknya bisa berupa banyak hal, pengajaran kebaikan –sehingga mereka menjadi lebih baik, motivasi/dorongan berprestasi, dst.

Para alim ulama menempati posisi yang istimewa di hati umat, karena dari pengajaran merekalah, kita menjadi tercerahkan, kita lebih mengenal Tuhan, kita mengerti syariat Islam. Dengan kehadiran orang-orang shaleh seperti merekalah, warisan kenabian terus terjaga hingga akhir zaman. Maka tidak heran, ada pesan khusus yang diingatkan Rasulullah SAW kepada kita.

Sudahkah kita melakukan itu semua..?