-->

Selamat Datang Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Terimakasih atas Kunjungan anda

Selamat Datang Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Terimakasih atas Kunjungan anda

Kamis, 16 Juni 2011

HADITS-HADITS TENTANG KEISTIMEWAAN DAN KEKHUSUSAN HARI JUMAT

Hari Jumat adalah hari yang memiliki arti yang sangat istimewa bagi ummat Islam karena merupakan hari raya bagi mereka. Sangat banyak hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan dan kekhususan hari Jumat dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahulloh dalam kitabnya Zaadul Ma’ad memuat hadits-hadits tersebut hingga beliau berkesimpulan paling tidak ada 33 kekhususan hari Jumat dari hari-hari yang lain. Al Hafizh Suyuthi menulis kitab yang beliau beri judul Al Lum’ah fi Khashoish Al Jumu’ah. Beliau di kitab ini menyebutkan hadits-hadits yang sangat banyak -termasuk diantaranya hadits-hadits lemah- yang menerangkan keutamaan dan kekhususan Jumat; dimana beliau berkesimpulan ada 101 kekhususan Jumat dari hari selainnya.
Di silsilah pertama dari kumpulan hadits-hadits tentang Jumat kali ini kami memilihkan untuk antum sekalian hadits-hadits yang insya Allah dijamin keabsahannya yang kami cukupkan dengan sepuluh point kekhususan hari Jumat dari sekian banyak kekhususannya, Wallohu Waliyyut Taufiq.

1. Hari Ied yang Berulang Setiap Pekan

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ »

Dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari ini (Jumat) Allah menjadikannya sebagai hari Ied bagi kaum muslimin, maka barangsiapa yang menghadiri shalat Jumat hendaknya mandi, jika ia memiliki wangi-wangian maka hendaknya dia memakainya dan bersiwaklah” (HR. Ibnu Majah dan haditsnya dinyatakan hasan oleh Al Albani)
Diantara fiqh hadits :
• Setiap ummat memiliki hari Ied (hari raya)
• Hari Ied bagi kaum muslimin dalam setiap pekannya adalah hari Jumat
• Disyariatkannya mandi bagi setiap yang mau menghadiri shalat Jumat
• Pada saat menghadiri shalat Jumat dianjurkan memakai wewangian bagi yang memilikinya dan juga diperintahkan bersiwak
• Disyariatkan mengagungkan hari raya
2. Diharamkan mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat dan dimakruhkan mengkhususkan malamnya untuk shalat malam

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : « لَا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ » (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata, aku mendengar Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Jangan kalian mengkhususkan berpuasa pada hari Jumat kecuali jika engkau juga berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya” (HR. Bukhari dan Muslim)


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu dari Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam, beliau bersabda : “Jangan kalian mengkhususkan malam Jumat dari malam-malam lainnya untuk shalat lail dan jangan kalian mengkhususkan hari Jumat dari hari-hari lainnya untuk berpuasa kecuali jika bertepatan dengan waktu yang seseorang yang biasa berpuasa padanya” (HR. Bukhari dan Muslim,lafal hadits ini baginya)
Diantara fiqh hadits :
• Larangan mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa sunnah
• Boleh berpuasa sunnah di hari Jumat jika berpuasa sebelumnya atau sehari sesudahnya atau jika bertepatan dengan puasa yang memiliki sebab tertentu seperti puasa Arafah dan lainnya
• Larangan mengkhususkan malam Jumat untuk shalat lail
3. Disunnahkan membaca surat As Sajadah di rakaat pertama dan Al Insan di rakaat kedua pada saat sholat shubuh

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِـ"ألم تَنْزِيلُ" فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى وَفِي الثَّانِيَةِ "هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنْ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا"

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam membaca pada shalat shubuh di hari Jumat Alif Laam Miim Tanzil (surat As Sajdah) di rakaat pertama dan Hal Ataa ‘alal Insan Hiinun Min Ad Dahr Lam Yakun Syaian Madzkuura (surat Al Insan) (HR. Bukhari dan Muslim)
Diantara fiqh hadits :
• Perhatian para sahabat terhadap surat/ayat yang dibaca oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada saat shalat
• Penjelasan kadar bacaan imam pada saat shalat shubuh
• Disyariatkannya membaca surat As Sajadah di rakaat pertama dan surat Al Insan di rakaat kedua pada saat shalat Shubuh di hari Jumat
4. Pada hari Jumat ada waktu mustajab untuk berdoa

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ : « فِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ » وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda tentang hari Jumat, “Pada hari Jumat ada waktu yang mana seorang hamba muslim yang tepat beribadah dan berdoa pada waktu tersebut meminta sesuatu melainkan niscaya Allah akan memberikan permintaannya”. Beliau mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa waktu tersebut sangat sedikit. (HR. Bukhari dan Muslim)

Diantara fiqh hadits ini :

• Keutamaan berdoa pada hari Jumat
• Orang yang rajin beribadah adalah orang yang paling patut diterima doanya
• Anjuran untuk mencari waktu-waktu yang afdhal untuk berdoa
• Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan waktu ijabah pada hari Jumat; Al Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan 42 pendapat para ulama beserta dalilnya dalam menentukan waktu tersebut. Diantara sekian banyak pendapat ada dua pendapat yang paling kuat karena ditopang oleh hadits shohih, yaitu :

Pendapat Pertama : Waktu antara duduknya imam di mimbar hingga selesainya shalat. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari radhiyallohu anhu dimana beliau berkata saya telah mendengar Rasulullah shalallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang waktu ijabah, “Waktunya antara duduknya imam di atas mimbar hingga selesainya pelaksanaan shalat Jumat”. Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, Baihaqi, Ibnul Arabi Al Maliki, Al Qurthubi, Imam Nawawi dll.

Pendapat kedua menetapkan waktu ijabah tersebut adalah ba’da ashar terutama menjelang maghrib. Pendapat ini berdasarkan beberapa keterangan yang disebutkan dalam hadits diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasaai dan lainnya dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallohu anhuma dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam beliau bersabda(artinya), “Hari Jumat 12 jam, padanya suatu waktu yang kapan seorang hamba muslim berdoa padanya niscaya Allah akan memberikannya, carilah waktu tersebut di penghujung hari Jumat setelah shalat Ashar”. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim, Adz Dzahabi, Al Mundziri dan Al Albani serta dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. Pendapat ini yang dipilih oleh banyak ulama diantaranya sahabat yang mulia Abdullah bin Salam radhiyallohu anhu, Ishaq bin Rahuyah,Imam Ahmad dan Ibn Abdil Barr. Imam Ahmad menjelaskan, “Kebanyakan hadits yang menjelaskan waktu tersebut menyebutkan ba’da ashar...”
5. Dianjurkan memperbanyak shalawat kepada Nabi di hari Jumat

عَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : » إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ يَقُولُونَ بَلِيتَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وأحمد)

Dari Aus bin Aus radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang afdhal bagi kalian adalah hari Jumat; padanya Adam diciptakan dan diwafatkan, pada hari Jumat juga sangkakala (pertanda kiamat) ditiup dan padanya juga mereka dibangkitkan, karena itu perbanyaklah bershalawat kepadaku karena shalawat kalian akan diperhadapkan kepadaku” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat yang kami ucapkan untukmu bisa diperhadapkan padamu sedangkan jasadmu telah hancur ?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi tanah untuk memakan jasad para nabi” (HR. Abu Daud, Nasaai, Ibnu Majah dan Ahmad dengan sanad yang shohih)
Diantara fiqh hadits :
• Keutamaan hari Jumat dibandingkan hari-hari yang lain
• Diantara kekhususan hari Jumat : Adam alaihissalam diciptakan dan diwafatkan padanya, hari kiamat dan hari kebangkitan juga terjadi padanya
• Perintah memperbanyak shalawat pada hari Jumat
• Shalawat yang kita peruntukkan kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam akan disampaikan kepada beliau
• Jasad para nabi tidak hancur dimakan tanah
6. Hari Kiamat terjadi pada hari Jumat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : » خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ « رواه مسلم

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jumat; padanya Adam diciptakan, dimasukkan ke surga dan juga dikeluarkan darinya serta kiamat tidak terjadi melainkan pada hari Jumat” (HR. Muslim)
Diantara fiqh hadits :
• Hari Jumat adalah hari yang terbaik diantara hari-hari yang ada
• Nabi Adam alaihissalam diciptakan, dimasukkan ke surga dan dikeluarkan darinya pada hari Jumat
• Kiamat terjadi pada hari Jumat
7. Seorang yang meninggal dunia di hari Jumat akan dilindungi dari siksa kubur

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ » (رواه الترمذي وأحمد)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallohu anhuma berkata, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia di hari Jumat atau pada malamnya melainkan Allah melindunginya dari fitnah kubur” (HR. Tirmidzi dan Ahmad serta dinilai hasan atau shohih oleh Al Albani berdasarkan banyaknya jalur periwayatannya yang saling mendukung dan menguatkan)
Diantara fiqh hadits :
• Keutamaan muslim yang meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat
• Adanya fitnah kubur
• Sebagian hamba Allah yang muslim diselamatkan dari fitnah kubur
8. Anjuran membaca surat Al Kahfi di malam Jumat dan pada hari Jumat

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنْ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Dari Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu berkata, “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi di malam Jumat niscaya Allah akan meneranginya dengan cahaya antara dia dengan Ka’bah” (Riwayat Darimi)

Keterangan : Sanad riwayat ini shohih mauquf dari perkataan Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu akan tetapi hukumnya marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam) karena pengabaran hal yang ghoib seperti ini tidak mungkin hanya berdasarkan pendapat pribadi para sahabat. Wallohu A’lam. Beberapa riwayat hadits menyebutkan kata hari Jumat.
Diantara fiqh hadits :
• Keutamaan membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat dan hari Jumat
• Membaca surat Kahfi pada waktu di atas diantara amalan yang diganjar oleh Allah Azza wa Jalla berupa cahaya

9. Dibolehkan shalat di pertengahan siang di hari Jumat sebelum zawal

عن سَلْمَان الْفَارِسِيّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : » مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيبٍ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى « رواه البخاري

Dari Salman Al Farisi radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya kemudian memakai wewangian lalu menuju ke mesjid dimana dia tidak memisahkan antara dua orang (yang duduk di mesjid) lalu dia shalat sesuai dengan yang ditetapkan Allah (sekemampuannya) kemudian jika imam keluar dari tempatnya untuk berkhutbah dia diam mendengarkan khutbah niscaya akan diampuni dosanya yang terjadi diantara kedua Jumat” (HR. Bukhari)
Diantara fiqh hadits :
• Penjelasan beberapa adab yang harus diperhatikan pada saat menunaikan shalat Jumat
• Pahala Jumat berupa pengampunan dosa hanya akan diraih oleh hamba yang menjalankan adab-adab tersebut
• Bolehnya seseorang yang masuk di mesjid pada hari Jumat melaksanakan shalat sebanyak-banyaknya walaupun dipertengahan siang(zawal) hingga imam naik di atas mimbar. Diantara ulama yang menjelaskan masalah ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim dan Allamah Syamsul Haq Azhim Abadi rahimahumulloh.

10. Seseorang yang mandi di hari Jumat maka itu merupakan pembersih baginya hingga Jumat berikutnya

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم يَقُولُ : « مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ فِي طَهَارَةٍ إِلَى الْجُمُعَةِ الأُخْرَى ». (رواه الطبراني وغيره)

Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shalllallohu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat maka dia berada dalam keadaan suci hingga Jumat berikutnya” (HR. Thabrani, Abu Ya’la, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim. )

Keterangan : Hadits ini dinilai shahih oleh Suyuthi dan dinyatakan hasan oleh Mundziri dan disetujui oleh Albani
Diantara fiqh hadits ini :
• Anjuran mandi pada hari Jumat
• Keutamaan mandi pada hari Jumat dibandingkan hari-hari yang lain

Senin, 15 Juni 2009

Pertanyaan :

Assalamu alaikum..
ustadz, ana pernah baca bahwa hadist tentang mengusap tengkuk saat berwudhu (“Mengusap tengkuk merupakan pelindung dari penyakit dengki”) adalah hadist lemah bahkan palsu dan tidak bisa dijadikan hujjah dalam beramal atau berhukum.. mohon penjelasannya.. syukron wa jazakumullahu khoiron.                    (Sujud Firmansyah)


Jawaban :

Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuhu,
Hadits yang antum maksudkan diriwayatkan oleh Imam Abu Ubaid Qasim bin Sallam dalam kitab beliau Ath Thuhur dengan sanadnya sampai kepada sahabat Musa bin Tholhah radhiyallohu anhu, beliau berkata:

« مَنْ مَسَحَ قَفَاهُ مَعَ رَأْسِهِ وُقِيَ الْغُلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

“Barangsiapa yang mengusap tengkuknya bersama kepalanya (pada saat wudhu) niscaya lehernya dilindungi dari belenggu rantai di hari kiamat”

Sedikit koreksi dari terjemahan yang antum sebutkan : “…pelindung dari penyakit dengki” seharusnya diterjemahkan “dilindungi dari belenggu rantai”. Kesalahan ini muncul karena seharusnya kata al ghull dalam hadits itu dibaca dengan al ghill.

Kata al ghill memang berarti dengki tapi yang benar dalam hadits ini dibaca al ghull yang berarti belenggu yang terbuat dari rantai sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar Ra’ad : 5:

...وَأُولَئِكَ الْأَغْلَالُ فِي أَعْنَاقِهِمْ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“…..Orang-orang itulah yang kafir kepada Tuhannya; dan orang-orang itulah (yang dilekatkan) belenggu di lehernya; mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Ar Ra’ad : 5)

Juga firman-Nya :

... وَجَعَلْنَا الْأَغْلَالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

…Dan Kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Saba’ : 33)

Kedua ayat itu menyebut aghlaal yang merupakan bentuk jamak dari kata ghull diterjemahkan dengan belenggu bukan ghill (dengki).

Adapun pertanyaan antum tentang kedudukan haditsnya maka hadits di atas mauquf (sanadnya hanya sampai kepada sahabat) bukan dari sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Ada juga hadits semakna dengan hadits ini yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan dan Abu Manshur Ad Dailami dalam Musnad Al Firdaus secara marfu’ dari Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda,

من توضأ ومسح بيديه على عنقه وقي الغل يوم القيامة

“Barangsiapa yang berwudhu dan mengusap di atas lehernya dengan kedua tangannya maka niscaya (lehernya) dilindungi dari belenggu di hari kiamat”

Sanad hadits ini juga lemah karena di dalamnya ada Abu Sahal Muhammad bin ‘Amr Al Anshori Al Bashri yang mana orang ini disepakati kelemahannya bahkan menurut Yahya bin Said Al Qaththan sangat lemah. Pada sanad Abu Nu’aim guru beliau yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Ali juga dilemahkan oleh beberapa ulama seperti Imam Daraquthni dan ‘Iraqi.

Karena itu banyak ulama hadits yang menegaskan akan kelemahan hadits ini, diantaranya :
1. Ibnu Sholah mengatakan perkataan ini tidak dikenal dari Nabi shallallohu alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan sebagian salaf. (lihat At Talkhish Al Habir 1/286)
2. Imam Nawawi di kitabnya Al Majmu’ mengatakan bahwa hadits ini palsu, sehingga beliau menilai mengusap leher pada saat berwudhu sebagai bid’ah
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di Majmu’ Al Fatawa (21/127-128)
4. Imam Ibnul Qayyim di dua kitab beliau Zaadul Ma’ad (1/187) dan Al Manar Al Munif (hal 120), bahkan di kitab Al Manar beliau menegaskan sebagai hadits bathil
5. Imam Ibnul Mulaqqin juga menyebutkan kelemahannya dalam Al Badr Al Munir (2/224)
6. Imam Al Iraqi di kitab beliau Al Mughni yang mentakhrij hadits-hadits yang terdapat di dalam Ihya’ Ulum Ad Dien (1/82, no.308)
7. As Suyuthi dalam Dzail Al Ahadits Al Maudhu’ah
8. Al Albani di Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah (1/168, no.69) dan Tamam Al Minnah (hal. 98-99)
Adapun hukum mengusap tengkuk atau leher pada saat berwudhu maka diikhtilafkan oleh para ulama, madzhab Hanafiyah menganjurkannya namun karena sandaran yang digunakan oleh yang membolehkan atau menganjurkannya nya adalah hadits yang lemah maka pendapat yang rojih adalah yang tidak menganjurkan, wallohu a’lam.
Bagi yang ingin membaca penjelasan ulama tentang masalah ini disamping buku-buku yang telah kita sebutkan di atas, silakan juga merujuk ke fatwa-fatwa Masyayikh berikut ini :
1. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah (5/235-236)
2. Majmu’ Fatawa Sy. Bin Baz (10/102)
3. Al Muntaqa min Fatawa Asy Syekh Al Fauzan


Kesimpulannya : Hadits yang antum pertanyakan sanadnya dhoif/tidak shohih sehingga tidak diamalkan akan tetapi kelemahannya tidak sampai ke derajat maudhu’ (palsu), sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar di kitab beliau At Talkhis dan
diikuti oleh Imam Syaukani di dua kitab beliau Nailul Authar dan Sail Al Jarror,wallohu a’lam.

Senin, 08 Juni 2009

HUKUM MEMAKAN KATAK

Pertanyaan :
Assalamu alaikum, apakah ada hadist yang shahih tentang larangan membunuh katak, dan apakah haram memakannya, karena saya pernah mendengar ada hadistnya (Munawan)
Jawaban :
Wa’alaikum salam warahmatullah,
Hadits yang melarang membunuh katak diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 3871 dan 5269), Nasaai (no. 4355) dan Daarimi (no. 1998)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا

Dari Abdurrahman bin Utsman radhiyallohu anhu bahwa seorang dokter bertanya kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam tentang katak dijadikan obat maka Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.
Derajat Hadits :
Imam Abu Daud telah meriwayatkan hadits ini dengan sanad sebagai berikut : Abu Daud —> Muhammad bin Katsir —> Sufyan Ats Tsauri —> Ibn Abi Dzi’b —> Said bin Kholid —> Said bin Musayyib —> Abdurrahman bin Utsman
Sanad hadits Abu Daud di atas semuanya perowi yang tsiqoh (terpercaya) kecuali Said bin Kholid, derajat beliau menurut Ibnu Hajar : shaduq (jujur). Dengan demikian sanad Abu Daud hasan namun Syaikh Albani menghukumnya sebagai hadits shohih, mungkin saja karena beliau melihat beberapa syawahid (pendukung) yang menguatkannya. Kesimpulannya hadits ini adalah hadits yang diterima dan pantas dijadikan hujjah.
Syarah Hadits :
* Imam Khaththabi rahimahulloh berkata, “Hadits ini merupakan dalil bahwa katak haram dimakan dan tidak termasuk hewan air yang boleh dimakan…”
* Imam Abul Barakaat Ibn Taimiyah dalam kitab beliau Muntaqa Al Akhbar memasukkan hadits ini dalam bab yang beliau beri judul : “Bab Yang Diambil Manfaat tentang Hukum Keharamannya Berdasarkan Perintah untuk Membunuhnya atau Larangan Membunuhnya”. Maksud beliau bahwa kita bisa mengambil faidah haramnya suatu hewan berdasarkan salah satu dari dua sebab yaitu adanya perintah untuk membunuhnya atau adanya larangan membunuhnya.
* Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahulloh –ketika menjelaskan hadits ini- beliau berkata, “Larangan membunuh katak menunjukkan haramnya dan tidak boleh dijadikan sebagai obat karena seandainya dibolehkan membunuhnya maka boleh saja digunakan untuk obat, karena kaidahnya adalah sesuatu yang boleh dibunuh dan digunakan maka boleh dijadikan sebagai obat dan sebaliknya sesuatu yang tidak boleh dibunuh maka tidak boleh dijadikan sebagai obat dan tidak boleh dimakan. Hal ini menunjukkan bahwa katak tidak boleh dimakan dan ini merupakan pengecualian dari hukum hewan yang hidup di laut. Maka katak tidak boleh dimakan karena Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam telah melarang membunuhnya karena seandainya boleh dimakan tentu beliau mengizinkan untuk mengambil manfaat darinya sebagai makanan dan obat akan tetapi ketika beliau melarangnya maka jelaslah bahwa katak tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijadikan sebagai obat”
Pendapat Fuqaha tentang larangan membunuh katak
Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang larangan yang terdapat pada hadits di atas; apakah haram atau makruh?
Pendapat Pertama : Makruh; ini pendapat madzhab Malikiyyah dan sebagian dari Syafi’iyyah dan Hanabilah
Pendapat Kedua : Haram; ini pendapat Jumhur ulama yaitu dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Imam Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah juga sepakat mengharamkannya. Pendapat kedua inilah yang rojih karena hukum asal dari larangan adalah haram,wallohu a’lam
Sebelum kami mengakhiri penjelasan ini maka hal lain yang perlu diingatkan adalah ketika kita mengatakan memakan katak haram berarti kita juga mengharamkan untuk menjadikannya lahan bisnis, sebagaimana sabda Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam,
(وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ )

“…Sesungguhnya jika Allah mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu maka berarti Allah juga mengharamkan harganya” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Wallohu A’lam bish Shawab wa Huwa Waliyyu At Taufiq
Setelah kami paparkan hukum yang berkaitan dengan hadits-hadits palsu dan hukum mengamalkan hadits dhoif maka insya Allah secara berseri kami akan memuat beberapa contoh hadits-hadits dhoif dan maudhu’ yang banyak beredar di tengah-tengah ummat dalam berbagai media dan kesempatan.
Kami menamakan silsilah ini dengan Tahdzir Al Ikhwah Al Ahibbah minal Ahadits Adho’ifah Al Musytahiroh (Memperingatkan Para Saudara yang Kami Cintai Karena Allah Terhadap Hadits-Hadits Lemah Yang Populer); yang kami maksudkan dengan hadits-hadits lemah adalah dalam semua tingkatannya maka termasuk di dalamnya hadits-hadits palsu atau yang tidak memiliki sanad.
Tentu saja kami menyebutkan hadits-hadits ini agar kita tidak terjatuh dalam kesalahan yang sangat fatal yaitu berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda,
< مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ >

“Barangsiapa yang mengatasnamakan kepadaku suatu perkataan yang tidak pernah aku katakan maka hendaknya dia menempati tempatnya di neraka” (HR. Bukhari no 109 dari Salamah bin Akwa’ radhiyallohu anhu)
Mengetahui suatu keburukan -termasuk di dalamnya hadits-hadits dhoif- adalah hal yang disyariatkan agar kita mampu menjauhinya dan tidak terjatuh dalam keburukan tersebut. Hudzaifah bin Yaman radhiyallohu anhu pernah berkata, “Dulu para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam tentang kebaikan akan tetapi aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir keburukan itu menimpaku (tanpa aku sadari)” (HR. Bukhari(3606) dan Muslim (1847))
Dalam syair Arab yang terkenal :
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukan keburukan akan tetapi untuk menjauhinya
Barangsiapa yang tidak mengetahui kebaikan dari keburukan maka dia akan terjatuh dalam keburukan”
Sekarang kami mulai menyebutkan hadits-hadits tersebut satu persatu dengan menyertakan penjelasan para ulama secara singkat tentang derajat hadits tersebut, Wallohul Musta’an wa’alaihi at tuklaan :
1- ( إِنَّ الدِّيْنَ هُوَ الْعَقْلُ, وَمَنْ لَا دِيْنَ لَهُ؛ لَا عَقْلَ لَهُ )

1. Agama adalah akal barangsiapa yang tidak beragama maka dia tidak memiliki akal

Takhrij : Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasai di kitabnya Al Kunaa dan juga Ad-Daulabi di kitabnya Al Kunaa wal Asmaa
Penilaian Ulama tentang hadits ini :
* ِImam An-Nasai berkata, “Hadits ini batil dan mungkar”.
* Al ‘Allamah Ibnu Qayyim di kitab beliau Al-Manar Al Munif menyimpulkan bahwa semua hadits tentang keutamaan akal dusta
* Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa semua hadits tentang keutamaan akal yang disebutkan di musnad Al Harits dari jalur Daud Al Muhabbir adalah hadits palsu; termasuk hadits ini .`
* Al Albani menegaskan, “Diantara hal yang patut diingatkan bahwa seluruh hadits yang menyebutkan keutamaan akal tidak satupun yang shohih, hadits-haditsnya berkisar antara lemah dan palsu…” (Silsilah Al Ahadits ash Shohihah 1/53-54)
2- ( اطْلْبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنَ )
2. Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina

Takhrij : Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa imam diantaranya : Ibnu Adi dalam Al-Kamil 2/207, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Bayan (no. 22 dan 24 29), Al Khathib Al Baghdadi dalam Tarikh Al Baghdad (9/369) dan Ar Rihlah fi Thalabil Hadits (hal 72-76) serta Ibnu Jauzi dalam Al Maudhuat (1/347,no.427-429)
Derajat Hadits :
Hadits ini tidak shohih karena pada seluruh sanad dan jalur periwayatannya terdapat perowi yang berkuniyah Abu ‘Atikah, namanya Tharif bin Sulaiman. Para ulama hadits sepakat mendhaifkannya, bahkan mereka menilai perowi tersebut sangat lemah sehingga tidak boleh dijadikan hujjah sama sekali. Berikut ini sebagian pernyataan para muhadditsin tentang perowi tersebut:
* Yahya bin Ma’in ketika ditanya tentang orang ini beliau tidak mengenal sebagai seorang perowi hadits yang terpercaya
* Abu Hatim Ar Rozi : “Haditsnya pergi” (artinya ditinggalkan dan tidak boleh dijadikan dasar hujjah)
* Bukhari berkata : “Haditsnya mungkar”
* Nasaai : “Tidak terpercaya”
Atas dasar kelemahan perowi tersebut para ulama hadits melemahkan hadits ini bahkan memasukkannya ke dalam kategori hadits yang sangat lemah;
* Imam Ahmad, ketika beliau ditanya tentang hadits ini beliau sangat mengingkarinya
* Ibnu Hibban berkata, “Batil tidak ada asalnya”
* Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini dalam kumpulan hadits-hadits palsu
* Sakhawi menyetujui perkataan Ibnu Hibban dan hukum yang diberikan oleh Ibnul Jauzi
* Al Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits yang batil
(Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shohihah, juz I, hal 600, no.416)
3- ( كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا )

3. “Adalah Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam mengambil sebagian dari jenggotnya; panjang dan lebarnya(bahagian sampingnya)”

Takhrij : Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzi di Jami’nya (2762), Ibnu Adi dalam Al Kamil dan Abu Syaikh dalam Akhlaq An Nabi
Kedudukan dan Derajat Hadits Ini :
Hadits ini tidak shohih karena di sanadnya terdapat seorang perowi yang lemah yaitu Umar bin Harun dan dia bersendiri dalam periwayatan ini, berikut ini perkataan sebagian ahli hadits tentang Umar bin Harun :
* Abdurrahman bin Mahdi : ”Dia tidak bernilai di sisiku, aku meninggalkan haditsnya”
* Ahmad bin Hanbal : “Aku tidak meriwayatkan sedikitpun darinya”
* Yahya bin Ma’in : Pendusta
* Ali bin Al Madini : “Sangat lemah”
* Ibnu Hajar : “Matruk (ditinggalkan)”
Hadits ini juga bertentangan dengan begitu banyak hadits yang memerintahkan untuk membiarkan jenggot dan tidak memotongnya sedikit pun sebagaimana yang dikutip oleh Al Uqaili ketika menerangkan kelemahan sanad hadits ini. Syeikh Albani bahkan telah memvonis hadits ini sebagai hadits yang palsu, (lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah I/456-457, no.288).
Hadits inilah yang dijadikan dalil oleh DR. Yusuf Al Qardhawi di kitabnya Al Halal wal Haram untuk membolehkan memotong atau ‘merapikan’ jenggot, padahal hadits ini mungkar karena bertentangan dengan hadits yang shohih, Wallohu A’lam
4- ( حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيْماَنِ )

4. Cinta tanah air adalah bagian dari iman

Takhrij : Hadits ini juga tidak memiliki asal
Keterangan :
Diantara para ulama yang menerangkan kedudukan hadits ini :
* Ash Shaghani memasukkan hadits di dalam kumpulan hadits-hadits palsu
* As Sakhawi berkata, “Aku tidak menemukan (sanad) hadits ini”
* Al Albani bertutur, “Makna perkataan ini juga tidak tepat karena cinta tanah air sama saja dengan cinta terhadap diri, harta dan lainnya yang kesemuanya merupakan naluri setiap manusia sehingga sesuatu yang wajar dan bukan hal yang terpuji ketika memilikinya. Apakah engkau tidak melihat seluruh manusia memiliki kecintaan kepada tanah air? Baik itu orang beriman maupun orang kafir” (lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 1/110, no. 36)

5- ( اخْتِلافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ )

5. Perbedaan umatku adalah Rahmat
Takhrij : Hadits ini tidak ada asalnya, ulama hadits telah berusaha mencari sanadnya tetapi tidak ketemu.
Penjelasan :
Perkataan ini selain tidak memiliki sanad sehingga tidak layak disebut sebagai hadits juga makna yang dikandungnya telah diingkari oleh sebagian ulama.
* Subki berkata : “Hadits ini tidak dikenal oleh ulama hadits , saya tidak mendapatkan sanadnya baik itu shohih, lemah atau palsu”
* Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Ihkam Fi Ushul Al Ahkam ketika membantah orang yang mengatakan bahwa ikhtilaf ummat ini adalah rahmat, beliau mengatakan: “Ini adalah seburuk-buruk perkataan sekiranya perbedaan adaah rahmat maka berarti persatuan adalah kemurkaan dan ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim pun”.
Bahkan perkataan ini bertentangan dengan firman Allah di QS. Hud ayat 108-109
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ(118)إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ

Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa ikhtilaf (berselisih pendapat). Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka…

Cermatilah ayat di atas, lihatlah bagaimana Allah Azza wa Jalla mengkhususkan rahmatnya bagi orang yang tidak berikhtilaf. Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallohu anhu juga pernah menyatakan bahwa, “Al Khilaf (perbedaan) itu buruk”
Perkataan yang tidak shohih (namun dianggap sebagai hadits) ini telah membawa beberapa dampak buruk di tengah ummat. Diantaranya banyak kaum muslimin menolerir semua jenis perbedaan yang terjadi di tengah ummat Islam hingga dalam masalah aqidah/prinsipil sehingga muncullah ide dan prakarsa untuk menjembatani antara Sunni dan Syi’ah, padahal keduanya adalah ajaran yang saling bertolak belakang dan tidak akan bertemu hingga kiamat. Perkataan ini juga kadang digunakan oleh sebagian kaum muslimin untuk bermasa bodoh terhadap beberapa perbedaan dalam masalah-masalah fiqhiyyah yang terjadi diantara madzhab sehingga mereka tidak berusaha untuk meruju’ kepada Al Quran dan As Sunnah Ash Shohihah ketika mereka mendapatkan perbedaan padahal itu diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam surat An Nisaa ayat 59.
Apa yang disebutkan di atas tidak berarti kita menyalahkan ikhtilaf yang terjadi diantara para sahabat Rasulullah atau ulama mujtahid, karena ikhtilaf yang terjadi diantara mereka adalah hasil penelitian dan jitihad sehingga mereka berhak mendapatkan pahala dalam setiap keputusan yang mereka ambil; jika benar mendapat 2 pahala ketika salah mendapat 1 pahala. Akan tetapi yang keliru adalah mereka yang mentaqlid salah satu pendapat atau tidak mau meneliti mana pendapat yang paling sesuai dengan dalil padahal para ulama mujtahid tersebut telang melarang mereka taqlid dan mengarahkan mereka untuk memperhatikan dalil yang mereka perpegangi, Wallohu A’lam

(Silakan baca penjelasan lebih lanjut akibat buruk hadits ini dalam silsilah Dhaifah juz 1 hal. 141-144).

6- ( مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ ؛ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ )

6. Barangsiapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya.

Takhrij : Hadits ini juga tidak memiliki sanad yang marfu’ (sampai kepada Rasullullah shallallohu alaihi wa sallam)
Penjelasan Ulama :
* Abu Muzhaffar As Sam’aani : “Perkataan ini tidak dikenal sebagai hadits marfu”
* An-Nawawi : “Tidak tsabit (tidak memiliki dasar)”
* Ibnu Taimiyah menghukum hadits ini sebagai hadits maudhu’ (palsu)
* Fairuz Abadi (penulis Al Qamus Al Muhith) : “Tidak termasuk hadits nabi walaupun banyak yang menganggapnya sebagai hadits, hadits ini tidak shohih, dia cuma diriwayatkan di Israiliyyat”
* Suyuthi : “Hadits ini tidak shohih”
* Albani mengatakan hadits ini tidak memiliki asal, kemudian setelah beliau mengutip perkataan para ahli hadits di atas, beliau menyebutkan bahwa sebagian ahli fiqih kontemporer dari madzhab Hanafiyyah telah menulis syarah tentang perkataan ini. Hal tersebut menunjukkan bawa sebagian ahli fiqih tidak mengambil faidah dari usaha yang begitu luar biasa yang telah dikerahkan oleh para ahli hadits dalam menjelaskan derajat dan kedudukan hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam, Wallohul Musta’an ( Lihat Silsilah Adh Dhaifah juz 1 hal. 165-166, no.66 )
7- ( اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا, وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا )

  “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”

Takhrij : Syekh Albani rahimahullah menyebutkan bahwa hadits ini tidak punya asal secara marfu’ walaupun sangat populer di masyarakat ( lihat Silsilah Adh Dhaifah juz 1 hal. 63, no. 8 )

8- ( أَحِبُّوا الْعَرَبَ لِثَلاثٍ : لأَنِّي عَرَبِيٌّ ، وَالْقُرْآنُ عَرَبِيٌّ ، وَكَلامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَرَبِيٌّ ).

8. “Cintailah Arab karena tiga (sebab); Aku orang Arab, Al Quran berbahasa Arab dan bahasa penduduk surga adalah berbahasa Arab”

Takhrij : Hadits ini dikeluarkan oleh beberapa imam diantaranya; Hakim dalam Al Mustadrak (4/97), Thabrani dalam Al Mu’jam Al Awsath (5/369) dan Al Mu’jam Al Kabir (11/185) serta Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/230)
Keterangan :
Hadits ini telah dilemahkan oleh para ulama diantaranya,
* Al Uqaili : “Hadits ini mungkar tidak memiliki asal”
* Abu Hatim Ar Rozi : “Hadits ini dusta”
* Ibnu Hibban : “Hadits palsu”
* Adz Dzahabi : “Aku menduga hadits ini palsu”
* Syekh Albani menghukumi sanad hadits ini palsu karena memiliki 3 cacat yaitu : Perowi yang bernama Al ‘Ala bin Amr yang disepakati kelemahannya, Yahya bin Yazid/Barid yang juga lemah dan hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dengan cara mu’an’anah padahal dia seorang mudallis (lihat Silsilah al Ahadits Adh Dhoifah 1/293-298, no.160)
9- ( لَوْلاَكَ لَمَا خُلِقَت الأَفْلاَكُ )

9. “Seandainya bukan karena engkau (Muhammad) aku tidak menciptakan alam”

Takhrij : Hadits ini diriwayatkan oleh Dailami dalam Musnad Al Firdaus
Keterangan :
Hadits ini termasuk hadits qudsi yang dijadikan landasan oleh para pengikut tarikat Tasawwuf dalam mengkultuskan Rasulullah shallallohu alaihi wasalam dengan secara tidak proporsional. Namun sanad hadits qudsi ini tidak shohih sehingga tidak berhak digunakan sebagai dalil dan hujjah
* Ash Shaghani memasukkan hadits ini dalam kumpulan hadits palsu
* Syaukani juga memasukkan hadits ini dalam buku beliau Al Fawaid Al Majmu’ah yang berisi hadits-hadits palsu dan beliau juga mengutip hukum yang diberikan oleh Shoghani
* Al Albani juga menghukumi hadits ini palsu dan menerangkan kelemahannya (lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 1/450, no.282)

10- ( من لم تنههُ صلاتُهُ عنِ الفحشاءِ والمُنكرِ لم يزدد مِن اللهِ إِلاَّ بُعدًا ).

    “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar maka dia tidak bertambah kecuali bertambah jauh dari Allah”

Takhrij : Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, Al Qudhai dalam Musnad Syihab dan Ibn Abi Hatim dalam Al ‘Ilal
Keterangan :
Sanad hadits ini lemah karena di dalam terdapatnya Layts bin Abi Sulaim yang dilemahkan oleh para ulama
Diantara ulama yang menjelaskan kedudukan hadits ini :
* Ibnu Abi Hatim berkata, aku bertanya kepada Ali bin Husain bin Junaid Al Maliki tentang hadits ini lalu beliau menjawab: “Hadits ini dusta”
* Ibnu Taimiyah : “Hadits ini tidak shohih dari Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam, akan tetapi shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana yang Allah firmankan di dalam Al Quran. Namun secara umum shalat tidak akan menambah jauh bagi pelakunya akan tetapi seorang yang shalat lebih baik dari yang tidak shalat dan lebih dekat kepada Allah walaupun dia masih fasik (kadang berbuat dosa)”
* Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini batil baik ditinjau dari sanad maupun dari sisi matan walaupun hadits ini sangat populer di tengah-tengah masyarakat, lalu beliau menjelaskan secara rinci kelemahan hadits ini dari kedua sisi tersebut (lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 1/54-59, no.2)
 
 Sumber: http://www.markazassunnah.com/search?updated-max=2009-07-11T09%3A40%3A00%2B08%3A00&max-results=4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar